Jangan ragu untuk meninggalkan komentar...
Karena saran, masukan, dan berbagai celotehan kalian, sangat berarti untuk kami...

Sabtu, 05 Oktober 2013

Chapter 02

**Hinata POV**

Pagi yang cerah di awal musim semi yang indah. Bunga sakura yang sudah bermekaran, meramaikan pemandangan dan membuat suasana menjadi identik merah muda. Ini adalah minggu kedua bagiku memulai hari sebagai murid SMU, dan entah mengapa, hatiku masih saja terus bergemuruh jika diharuskan pergi ke sekolah. Hari ini seperti biasa, aku berangkat sekolah dengan berjalan kaki, walau keluargaku, terutama onii-chan ku, bersikeras melarangku untuk berjalan kaki ke sekolah. Aku heran dengan mereka, bukankah kita harus mencintai linkungan? Jarak rumahku sampai sekolah hanya sekitar 5 kilometer padahal, kenapa harus membuang-buang bahan bakar dengan menggunakan limo ke sekolah, nee?

Lagipula dengan berjalan kaki, kita bisa lebih sehat dan juga jauh lebih menyenangkan. Kau tahu kan maksudku? Dengan berjalan kaki, aku bisa bertemu dengan banyak orang, contohnya Akira-senpai. Bisa melihat tatapan sinisnya saat melirikku adalah sebuah anugrah. Ah Akira-senpai... kenapa tatapan sinismu begitu keren??? Seandainya onii-chan bisa belajar menatap sepertimu, pasti aku tidak akan bosan di rumah itu. Ah, lagipula selain bisa melihat Akira-senpai, aku juga senang karena bisa merasakan sensasi melelahkan setelah berjalan kaki. Ahh... seandainya di dunia ini tidak ada kendaraan yang menggunakan tenaga mesin. Oh tidak, membayangkannya saja sudah membuat kepalaku panas!!!

 AU, OC, OOC (semoga nggak terlalu)
disclaimer : SEVENTH HEAVEN adalah milik rejet
T+

**Normal POV**

TENG TENG TENG
 
Jam istirahat di Tengoku Gakuen sudah dibunyikan. Para murid bergegas keluar dari kelas mereka masing-masing, berkumpul bersama teman mereka yang berada di lain kelas, atau beberapa dari mereka memilih untuk segera pergi ke kantin untuk mendapatka yakisoba pan yang begitu berharga. Hanya sedikit dari mereka yang memilih untuk tetap berdiam diri di kelas tanpa melakukan kegiatan apapun.

Mari kita lihat bagaimana suasana kelas 2-3. Seperti biasa, sudah ada empat orang gadis yang setia berkumpul di pojok kelas, entah apa yang mereka lakukan. Begitu banyak suara tertawa “mistik” yang mereka hasilkan, bento yang mereka bawa pun sepertinya bukan prioritas yang harus “disantap” oleh mereka. 

“Oh, pose yang ini juga keren... mfufufufufufu” ujar gadis dengan model rambut twin-tails sebagiannya.

Ma~ma~ma~~ aku tahu aku memang berbakat dalam hal seperti ini, aku juga punya koleksi baru yang lain loh..” Gadis yang memiliki badan yang paling kecil membanggakan dirinya sambil mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

“Berterimakasih lah padaku, karena aku telah membuat efek wajah mereka menjadi lebih dramastis...” Ucap gadis berkacamata dengan senyuman kecil di wajah malasnya, dia kembali menyantap bekalnya setelah itu.

“Tetap saja... wajah mereka udah keren dari sana nya sih... hohoho...

Nee... nicchi... apakah ada foto Akira-kun yang terbaru???”

“Ada nih...”

 
**Hinata POV** 

Aku berjalan keluar kantin masih sambil membawa kotak bento yang masih terbungkus rapih.
Uh, Akira-senpai dimana sih? Aku sudah ke ruang OSIS, kantin, bahkan atap sekolah. Padahal minggu kemarin aku masih bisa menemukan Akira-senpai dan ikut makan siang bersamanya, sekarang dia dimana? Semua orang yang aku tanya, tidak tahu apa-apa tentang keberadaan Akira-senpai.

Aku kembali berjalan. Ah iya! Aku belum mengecek kelasnya! Mungkin hari ini Akira-senpai sedang makan di kelas?

Aku berjalan agak cepat ke kelas Akira-senpai, uwa, aku sudah naik-turun tangga berapa kali ya? Ini menyenangkan, mencari Akira-senpai di sekolah yang luas ini benar-benar membuatku semakin bersemangat!


Ini dia, kelas 2-3. Aku masuk ke kelas itu, dan menyapu pandangan di kelas itu. Eh? Sepi sekali? Dan sepertinya Akira-senpai juga tidak ada di kelasnya. Hn? Aku akan coba bertanya pada onee-san tachi di pojok kelas itu.

Aku berjalan menghampiri mereka, sepertinya mereka sedang asik membicarakan sesuatu. Semoga aku sedikit mengganggu mereka, dimarahi sedikit tidak apa-apa, yang penting aku berani bertanya.

Ano...”

Eh? Yang dipegang itu seperti... foto Akira-senpai.

“GAAAAAH!” Serempak mereka panik membereskan meja mereka yang penuh dengan berbagai foto yang berserakan dimana-mana itu. Tapi...

Nee... Itu... Akira...-senpai?” Tanyaku yang masih penasaran dan agak terkejut.

“K...K...Komura-kun...” Ujar seorang nee-san yang berkacamata dan memiliki alis yang paling tebal diantara yang lainnya. “Mungkin kamu... salah lihat?”

“Lalu tadi itu foto siapa?” aku bertanya dengan polosnya.

Mereka saling pandang satu sama lain. Mencurigakan, mereka pasti menyembunyikan sesuatu.

“Itu... apa sih, itu lho... ” Nee-san beralis tebal itu sedikit gugup. Dia pun tidak sengaja menjatuhkan sesuatu dari lacinya. Hn? Yang jatuh itu seperti sebuah foto?

Aku mengambil foto tersebut, dan benar saja... ini foto Akira-senpai!!! Di foto ini, Akira-senpai terlihat sedang berdiri membacakan sesuatu di depan kelas.

“AH!”

bats

Tiba-tiba foto yang kupegang sudah berpindah tangan ke nee-san yang berbadan paling kecil. Ugh, mereka ini...

“Itu benar kan Akira-senpai? Kalian kenapa punya fotonya Akira-senpai? Kalian fan club? Siapa yang ngambil foto-fotonya Akira-senpai? Aku cuma mau tau kok, nee?”

Serempak tiga dari mereka menunjuk ke arah nee-san yang berbadan kecil itu.

“Kok nunjuk aku?!” Protesnya.

Nee-san... aku cuma mau tahu kok, alasan nee-san punya fotonya Akira-senpai... dijawab aja, aku cuma pensaran kok, nee?” Aku berusaha memberikan senyuman termanisku.

“Ini... etto... KITA PANITIA BUKU TAHUNAN!” Jawabnya yakin.

 “I..iya! kita ini panitia buat nanti bikin buku tahunan! Makanya kita punya foto Aki- *uhuk* Aouji-san...” Nee-san dengan alis tebal kembali menambahkan.

“Ah, begitu...” Aku menghembuskan nafas lega. “Kukira kalian semacam fan club Akira-senpai, hahahaha...”

“aha...hahahaha....” Para nee-san itu tertawa dengan wajah yang aneh.

Tiba-tiba suasana hening begitu kami selesai tertawa. Aku jadi merasa tidak enak sudah berburuk sangka pada mereka. Aku-pun memutuskan untuk meminta maaf, biar bagaimanapun, tidak enak suasana seperti ini. Lagipula nee-san tachi ini sepertinya bukan orang yang patut diwaspadai.

Oke, kecuali nee-san chibi itu.

Nee, aku minta maaf ya...” Aku menunduk sedikit. “Ah, namaku Komura Hinata. Nee-san tachi boleh memanggilku dengan nama depanku...” Ujarku sambil tersenyum ramah.

“Murasaki Tsurara desu!Nee-san dengan gaya rambut twin-tails sebagian yang pertama kali menjawab. “Aku panggil kamu Hinatan, boleh?” Tanyanya sambil tersenyum dengan, ng... agak aneh?

Aku mengangguk, nama panggilan yang cukup lucu untukku. Hihihihi... sepertinya aku menyukai panggilan itu.


“Tapi Hinatan, panggil aku Tsurara nee-chan yah?” Lanjutnya lagi.

Nee...-chan?”

“IYA!” Jawabnya bersemangat.Wah, sepertinya Tsurara nee-chan senang dengan panggilan ‘nee-chan’. Teman-temannya entah kenapa memandang Tsurara nee-chan dengan ekspresi ilfeel.

“Tamaki Shinju desu...” Nee-san yang berkacamata dan beralis tebal memperkenalkan dirinya dengan ramah.

“Panggil aku Nicchi aja...” Ujar nee-san yang paling kecil itu. Nadanya riang, tapi entah mengapa aku merasa harus ‘waspada’ dengan nee-san yang ini.

“Kihorazu Ranze...” Nee-san terakhir yang memiliki tampang malas akhirnya memperkenalkan diri juga. “Kau boleh memanggilku Ranze-sama.” Tambahnya singkat. Teman-teman disebelahnya langsung menatapnya dengan tatapan ‘apa-kau-serius-?’

“Baik-lah... Ranze-sama?” Aku memanggilnya dengan nada sedikit bertanya.

Gyaaaaa~~~ kau begitu lucu!!!” Tiba-tiba reaksi malasnya berubah drastis dan sontak membuatku kaget. “Tidak usah panggil begitu, nanti kakak-mu memarahiku lagi. Panggil Ranze-nee saja.”

“Baiklah” Aku mengangguk. “Nee-san tachi, Yoroshiku ne!” Aku kembali menundukkan kepalaku.

Kemudian aku melihat jam tanganku. Uwa... 10 menit lagi sudah akan bel masuk dan aku belum mulai memakan bento ku sama sekali. Apa aku harus melewati seharian ini di sekolah tanpa makan apapun? Hm... tapi sepertinya itu bukan ide yang buruk juga... kalau lapar kan, sesampainya di rumah bisa langsung makan enak... apalagi nanti aku akan pulang jalan kaki lagi. Hihihi...

“Hn? Hinata-kun, kamu belum memakan bentomu?” Tiba-tiba Ranze-nee bertanya padaku.

“Eh? Yah, belum sempat... tapi sepertinya tidak apa-apa...”

“Itu sayang makanannya! Nanti kalau kamu sudah pulang kan, bisa-bisa basi! Makan disini aja! Kalau nggak abis, kita bantuin deh...” Ujar Shinju-nee.

Tapi mungkin ini kesempatan bagus... kalau aku bisa mendekati onee-san tachi ini, siapa tahu aku bisa mendapatkan beberapa foto Akira-senpai. Aku menarik kursi, Nicchi-nee bergeser untuk memberikanku tempat. Akupun makan bersama mereka, beberapa lauk milikku disabotase... tapi tidak apa-apa, aku senang berbagi untuk kesenangan mereka.


**Akira POV**

Masih ada 3 menit sebelum bel masuk berbunyi, bento ku baru saja habis. Sepertinya masih cukup waktu untuk berjalan santai ke kelas. Haah... syukurlah hari ini Hinata tidak menghampiriku lagi, atau mungkin dia tidak berhasil menemukanku? Ah, kenapa sih anak itu mengikutiku terus? Padahal aku paling tidak tahan melihat murid yang memakai pierching seperti itu, apalagi dia anak baru, memangnya dia tidak tahu peraturan sekolah?

Kedua temanku masih asik memakan bento nya sambil mengobrol mengenai salah satu acara TV. Setelah selesai merapikan kotak bento ku, aku beralih pada mereka. “Aku mau ke kelas duluan...” Ujarku.

“Eh? Tungguin kita lah!” Ucap seseorang yang aku lupa namanya.

“Kalau aku menunggu kalian, aku bisa terlambat ke kelas.” Ujarku sambil tersenyum mengejek.

“Ahahaha... sasuga Aouji... yaudah duluan aja...” Ujar satu lagi temanku yang aku juga lupa namanya.

“Yo...” Jawabku singkat.

Aku pergi meninggalkan mereka. Sepertinya mereka sudah biasa dengan sikapku yang seperti ini. Ngomong-ngomong, setelah ini pelajaran seni rupa... uh, rasanya aku agak malas...

“A~ki~cha~n~!” Tiba-tiba ada yang merangkulku dari belakang.

“Ka...Kanade ji-san...” aku menjawab dengan semalas mungkin.

“Sudah kubilang, jangan panggil aku begitu... aku merasa tua kalau kamu memanggilku begitu...” Ujar Kanade ji-san sambil tersenyum dan tetap merangkulku.

Uh, walaupun sudah kubilang kalau di sekolah jangan seperti ini, dia tetap saja bersikap begini. Lihat kan, semua orang di lorong mulai memperhatikan kami. Aku ini laki-laki dan sudah besar, kenapa baka jiji ini tetap memperlakukan aku bagai anak kecil? Cukup!

Aku melepas rangkulan Kanade ji-san, dan berkata dengan dingin. “Aku mau ke kelas, kalau tidak ada yang penting, bicarakan nanti saja...”

“Eeh? Tapi setelah ini pelajaranku kan? Kita akan menggunakan ruangan seni lho... bagaimana kalau langsung saja denganku ke-”

Aku langsung berjalan meninggalkan Kanade ji-san dengan agak cepat. Menyebalkan. Dia memanggilku dari belakang, aku tidak peduli.

Teng teng teng

Nah kan sudah bel. Aku mempercepat langkahku dan segera masuk kelas.

Sraag

. .  . . .  . . .  . . .  . . . . . . . . .

Eh? Apa ini? Kenapa Hinata ada di pintu kelasku?

“Aaaah! Akira-senpai!” Ujarnya setengah berteriak dengan mata yang sangat berbinar.

Uh, sial... tadi Kanade ji-san, sekarang Hinata? Jangan sampai pulang nanti Itsuki-senpai juga membuat hariku semakin buruk.

Nee! Nee! Akira-senpai kemana saja? Aku dari tadi mencarimu!”

Aku memelototinya kesal, tapi dia malah terlihat tidak ketakutan sama sekali. Sial, padahal biasanya murid baru selalu ketakutan melihat death glare milikku. Apa aku kurang latihan melakukan death glare?

“Bukan urusanmu, sekarang minggir... aku mau masuk kelas...”

“Eeh? Kenapa?”

Anak ini, pake tanya kenapa. Kalau dia bukan adiknya Itsuki-senpai, mungkin sudah aku hajar.

“Komura Hinata”

Suara dingin itu datang dari belakangku, ah. Ternyata Brown Mint-sensei.

“Kenapa kau masih disini? Bel masuk sudah berbunyi.” Ujarnya dingin.

“Ah! Gomenasai! Aku akan segera ke kelas!” Hinata menoleh ke arah belakang kelas. “Jaa naa! Nee-san tachi!”

Empat siswi dibelakang melambaikan tangannya pada Hinata. Kalau tidak salah nama mereka itu...  Tamaki Shinju, Yukimura Niwako, Kihorazu Ranze, dan... yang menumbalkanku di awal semester sialan ini. Jadi mereka sebenarnya berteman dengan Hinata?

Jaa! Akira-senpai!” Hinata tersenyum lebar padaku dan meluncur ke kelasnya.

Huh, akhirnya dia pergi juga. Untung saja aku bertemu dengannya di saat bel masuk sudah berbunyi.

Hm? Perasaan tidak enak apa ini? Aku melihat ke arah Brown-sensei yang ternyata sedang memelototiku dengan dinginnya, jantungku berhenti sebentar karena terkejut.

“Kenapa kau tidak ke ruang seni? Sekarang kelas 2-3 mendapatkan pelajaran seni kan?” Ujarnya dengan nada yang super dingin.

Aku berusaha mencari alasan secepat mungkin, tidak mungkin aku mengatakan kalau aku tidak langsung ke ruang seni hanya karena menghindari Kanade ji-san kan?

“Aku... aku ingin memastikan semua rekan di kelasku pergi ke ruang seni, dan tidak ada yang tidur di kelas, sensei.”

“Bagus kalau begitu, segera lakukan dan jangan terlambat. Kau tidak boleh terlambat datang ke kelas siapapun, terutama kelasku.”

Cih, padahal sekarang Brown-sensei terlambat masuk kelasnya sendiri. Dia kemudian pergi meninggalkanku. Aku berbalik untuk menaruh kotak bento ku, dan menemukan empat siswi yang sedang memandang lurus ke arahku. Uh, sangat tidak menyenangkan.

“Ke...kenapa kalian melihatku seperti itu?”

“Ti...tidak kok Aouji-san... kita... etto... mau keluar kelas tapi kehalangan kamu dan Mint-sensei” Ujar Tamaki sambil menunduk.

“Ah, begitu.”

Aku pun berlalu ke mejaku dan menaruh kotak bento ku di laci. Tunggu dulu... kelas ini kan memiliki dua pintu... kenapa empat orang itu tidak melewati pintu yang satu lagi? Padahal pintu itu kan terbuka?


Aku masuk ke ruang seni dengan mood yang entah kenapa langsung jatuh drastis sejak bertemu adik dari Kaichou tadi. Kukira aku sudah aman tidak akan bertemu dengan si Hinata itu, aku benar-benar tidak menyangka dia di kelasku. Kira-kira apa hubungan mereka? Ah sudahlah!

Ternyata ruangan seni sudah dipenuhi oleh para murid yang akan mengikuti mata pelajaran ini, termasuk dua temanku yang tadi makan siang bersamaku. Para murid itu duduk berkelompok membuat suatu lingkaran, dan disetiap lingkaran itu ditengahnya ada seseorang yang dilukis. Oh baiklah, sepertinya aku harus bergabung dengan salah satu dari kelompok mereka.

“Selamat datang Aouji-kun.” Sapa ji-san ku dengan nada ramah seperti biasanya. Aku bersyukur saat di kelas dia tidak memanggilku dengan nama kecilku.

“Yo, maaf aku terlambat Sensei.” Aku menjawab sekenanya. Entah mengapa aku sama sekali tidak bisa bersikap formal dengan Sensei yang satu ini.

“Tidak apa-apa, setidaknya kau masih mau datang ke kelasku.” Jawabnya diiringi senyuman yang entah kenapa seakan-akan bercahaya. “Nah Aouji-kun, sekarang kau bergabung dengan kelompok 5 yah. Karena mereka juga baru datang dan kekurangan kelompok.” Lanjutnya lagi sambil menunjuk ke arah kelompok yang ada di pojok ruangan.

Aku melirik ke arah kelompok itu. Astaga itu kelompok para gadis yang tadi! Aku shock. Tuhan, apa tidak ada kelompok yang lain selain mereka? Melihat wajah mereka yang sedang menatap ke arahku, entah mengapa membuatku semakin badmood. Kenapa wajah mereka terlihat seperti adiknya Kaichou semua??!!! Tuhan, apakah aku terkena sindrom anti-adiknya Kaichou??!!! Ah, lupakan! Mereka hanya teman dari Hinata, tidak akan menjadi seburuk itu.

Aku berusaha menenangkan diri dan berjalan ke arah mereka, lalu berusaha mencari tempat duduk yang tersisa untukku. Aku melihat tidak ada tempat yang kosong lagi di lingkaran yang dibuat oleh mereka. Jangan bilang kalau aku...

“Aouji, kau yang jadi objek lukisan kami.” Salah satu dari mereka yang memiliki wajah malas membuka pembicaraan.

Aku?? Kenapa harus aku?” Aku berusaha buat menolak, ini sangat tidak menyenangkan!

“Ayolah Aouji-san... kami mohon.” Jawab gadis yang menumbalkan aku dulu.

“Tidak mau! Kalian saja yang jadi objek lukisannya! Si Tamaki saja, dia lebih mudah untuk di lukis!” Aku asal menunjuk saja, habis yang paling aku kenal diantara mereka hanya Tamaki yang notabene pernah satu kelompok saat kami kelas 1.

“Eh? Aku?” Aku melihat kearahnya, dan ternyata wajahnya sudah memerah. “Aouji-san sa...saja... aku bukan model yang bagus.” Dia bicara sambil menundukkan wajahnya. Eh? tadi dia bilang apa? Apakah maksudnya mereka memilihku karena aku objek yang bagus?

“Iya Aouji-kun, siapa lagi diantara kita yang memiliki rambut yang mencolok? Setidaknya kalau kita menggambar lingkaran dan diatasnya diberi warna biru, Oguro-sensei pasti sudah tahu kalau itu Aouji-kun.” Tambah gadis yang memiliki ukuran tubuh chibi. Entah mengapa itu membuat urat di kepalaku muncul. “Lagi pula Aouji-kun terlalu tampan kalau hanya menjadi pengamat salah satu dari kami.” Lanjutnya lagi dengan senyum yang terlihat polos.

“A... apa maksud kalian?” Aku membuang mukaku, tak ingin reaksi ini dilihat oleh gadis-gadis itu. 

"Ba... baiklah kalau kalian memaksa! Aku melakukan ini, karena aku datang paling terakhir! Ini sangat tidak menyenangkan!” Aku menjawab sekenanya lagi.

“Terimakasih!” Jawab mereka berbarengan.

“Untung saja kita tidak harus melukis Shicchi yah~ bisa bisa hasil lukasan kita langsung dapet D semua.” Aku mendengar si chibi menyeletuk.

“Kalau aku sih khawatir kertas gambar kita tidak cukup untuk melukis Shin-chan seorang.” Jawab gadis yang menumbalkanku, oh iya aku baru ingat namanya adalah Murasaki Tsurara.

“Apa maksud kalian hah?? Memangnya aku sebesar apa??” Kali ini Tamaki yang dielu-elukan membuka mulut. Apakah obrolan mereka setiap hari seperti ini?

Aku ingin tertawa tapi aku tidak ingin merusak imej-ku. Aku duduk di kursi yang berada di tengah, dan berusaha memasang pose yang cukup keren untuk dilukis. Ini sangat tidak menyenangkan.

“Yah, setidaknya memang ini yang terbaik. Setidaknya kita  tidak harus melihat hasil lukisan Aouji kan?” Celetuk gadis pemalas yang duduk di hadapanku. Apa maksudnya hah??!! Kenapa dia bisa bilang begitu dengan muka santai dan tetap fokus pada gambarnya??!!


Teng-teng-teng

“Baiklah, waktu kita hari ini sudah habis. Silahkan kumpulkan hasil karya lukis kalian.”

“Baik sensei.” Murid-murid menjawab serentak. Ahh... akhirnya aku bisa bergerak juga, setelah berjuang berjam-jam menjadi model bagi mereka yang diharuskan tidak melakukan pergerakan sedikitpun saat dilukis. Aku harap gambar buatan mereka tidak mengecewakan.

Hm, hasil gambarmu bagus juga, Tamaki.” Aku melihat kertas yang teman sekelasku pegang. 

Hasilnya aku akui memang cukup mirip denganku, juga ditambah dengan efek arsiran yang membuatnya lebih dramatis.

“Tidak... bukan gambar yang bagus kok... Ini standar.” Dia menutup wajahnya dengan kertas yang dia pegang.

“Iya, gambar Shicchi memang bagus kok. Coba Shicchi lihat gambar buatan Nicchi~~”

Nani?? Itu gambar apa Nicchi??” Tamaki terdengar kaget setelah melihat gambar teman chibi nya.

Aku yang penasaran mengintip sedikit hasil karya Yukimura, dan benar saja. Rasanya aku ingin mencolok mataku saat itu juga. Mahkluk absurd apa yang dia lukis? Demi tuhan, gambar anak TK saja masih banyak yang lebih bagus dari pada itu!

“Tentu saja ini Aouji-kun!! Lihat saja warna biru langit ini di rambutnya!” Dia membela diri.

Apa??!! Jadi mahluk absurd itu aku?

“Ya ampun Nicchi, kau dan Aouji sepertinya sama saja bakat gambarnya.” Kihorazu kembali menyeletuk.

Demi apapun, kenapa dia selalu menyinggung soal gambarku?!! Eh, memangnya dia tau dari mana soal gambar buatanku?

“Aduh Nicchi... yang seperti itu mana bisa dibanggakan... coba lihat hasil gambarku.” Murasaki menunjukan hasil gambarannya kepada kami dengan bangganya. Are...?

“SEJAK KAPAN AOUJI-SAN/AKU BERPOSE MEMALUKAN SEPERTI ITU HAH??!!” Aku dan Tamaki menanggapi berbarengan.

Kenapa dia menggambar aku dengan tatapan ‘menggoda’ dan senyum iblis seperti itu. Lalu apa yang ada di tanganku itu...? Ra...rantai??

“Seniman sejati itu harus memiliki tingkat imajinasi yang tinggi. Fufufufufu” dia tertawa dengan mistisnya. “Coba saja lihat hasil karya-mu Shin-chan~ itu terlalu biasa...” Ujarnya lagi dengan nada merendahkan.

Memang aku akui gambarannya si Murasaki bisa dibilang ‘luar biasa’. Mungkin kalau objek yang dilukisnya adalah orang yang aku tidak kenal, aku akan sangat mengaguminya. Tapi kalau mengingat objek lukisan itu adalah aku, rasanya aku ingin merobek kertas itu. Kalau bisa sekalian membakarnya bersama dengan si pembuat lukisan.

Nee, kenapa kalian belum mengumpulkan lukisan kalian?” Suara itu muncul dari belakang lingkaran yang kami buat. “Apa karena Aouji-kun terlalu menawan?” Ternyata si kuso jiji itu sudah ada di dekat kami, dan banyak teman-teman sekelas kami yang sudah meninggalkan ruangan ini.

Sial, kenapa dia bilang begitu sih? Apakah dia mau nunjukin nephew-complex disini, hah?

E... etto sensei... baiklah kami akan mengumpulkannya.” Jawab Kihorazu dengan wajah yang memerah.

Kenapa ekspresi malasnya bisa hilang seketika saat Kanade ji-san datang? Dia berdiri, dan sepertinya akan berjalan menuju meja guru untuk mengumpulkan gambar buatannya.

“Kau tidak perlu pergi ke depan, berikan saja gambaranmu kepadaku, nee?” Ji-san berusaha mencegahnya, lalu memberikan senyuman berkilauannya lagi. Kenapa selalu bisa ada cahaya di sekelilingnya saat dia tersenyum?!!!

“Ba... baik sensei...” Dia menjawab dengan ragu. Menyerahkan gambar buatannya itu dengan pose menunduk seperti akan memberikan surat cinta, lalu berlari meninggalkan kami secepatnya.

“Ada apa dengan teman kalian yang itu? Aku tidak tahu ternyata dia bisa lari cepat juga dengan tampang malasnya itu...” Aku bertanya entah pada siapa.

“Ranpyon kalau sudah tegang pasti seperti itu kok. Ahahahaha.” Jawab Yukimura dengan tawa polosnya.

Entah mengapa dari tadi dia memegangi gantungan berbentuk boneka yang dia gantung di bolpoinnya. Hmph, seleranya sangat kekanakkan.

“Hahaha, aku mengerti... semangat masa muda yah...” Ji-san menanggapi ucapan Yukimura dengan senyuman.

Apakah dia nggak sadar kalau yang membuat Kihorazu seperti itu adalah dia?!!

“Ngomong-ngomong hasil lukisannya seperti bukan Aouji-kun. Tapi rasanya familiar...”

Kami ber-empat melihat hasil lukisannya. Ternyata memang bagus, hanya saja... KENAPA DIA MENGGAMBAR KANADE JI-SAN??!!!!!!!!!!!!!!


**Normal POV**

Jam pulang sekolah sudah terlewat dari tadi. Tapi tentu saja keadaan sekolah masih belum kosong 100%, karena masih banyak siswa yang memutuskan tidak pulang untuk berkumpul dalam kegiatan klub sepulang sekolah. Tidak terkecuali para anggota OSIS yang memang terkenal paling sibuk dibanding murid lainnya.

Pemuda dengan warna rambut biru langit berjalan sempoyongan menuju ruangan yang akan digunakan untuk rapat hari ini. Sepertinya hari ini dia seakan-akan tertimpa beban 1 ton di kepalanya. Laki-laki itu biasanya dengan semangat  pergi untuk mengikuti rapat, tapi entah mengapa hari ini dia merasa ingin sekali pulang.

Apalagi setelah mendapatkan e-mail dari adik tingkat nya yang akan menunggunya setelah pulang rapat untuk pulang bersama. Masalahnya kalau adik tingkatnya itu seorang wanita dan tidak memiliki kebiasaan yang 'aneh' sih,tidak apa-apa. Tetapi sayangnya adik tingkatnya adalah sesosok laki-laki yang siap membuntuti dia kemanapun seperti anak anjing, yang bila dimarahi bukannya takut, malah kesenengan. Ditambah lagi adik tingkatnya itu memiliki seorang kakak yang sangat kau segani dan selalu mengikuti kemanapun kalian berjalan seperti anjing yang siap menggigit-mu kapan saja kalau kau berani mendekati—dalam hal ini menyakiti— adiknya.


**Itsuki POV**

“Yosh, sekian saja untuk rapat hari ini. Kalian boleh bubar.”

Aku merapikan tumpukan kertas didepanku, kemudian mengecek handphone ku, melihat e-mail balasan dari adikku.

[NGGAK MAU PAKE LIMO]

Lagi-lagi dia menolak ajakanku untuk pulang bareng, kenapa sih dia selalu menolak? Ketika aku benar-benar kesal dan kelepasan memaksanya dengan bentakan yang cukup kasar, beberapa hari yang lalu, dia mau menurut. Apa dia masih di masa-masa pubertas? Tapi aku suka melihatnya saat menurut seperti itu, entah mengapa dia terlihat seperti anak anjing yang imut sekali.

Aku menghela nafas lagi. Harusnya dia tahu kalau aku ini kakak yang peduli dengannya, aku tidak mau dia kenapa-kenapa saat berjalan pulang. Masa' dia tidak tahu kalau aku khawatir dengannya? Jalan kaki dari sekolah ke rumah itu jauh dan memakan waktu dua jam lebih! Bayangkan saja, kalau dia jalan kaki terus seperti ini, bisa-bisa betisnya semakin besar kan? 

Ok, bukan hanya itu... Bisa saja saat dia berjalan sendirian, ada segerombolan ji-san dengan muka seram yang membawanya kabur begitu saja karena dia terlalu imut.

“Kaichou, kami duluan” Ujar beberapa anggota OSIS.

“Ya ya...” Aku hanya menjawab singkat dan mencoba membujuk adikku lagi dengan membalas e-mail nya.

“Kaichou... duluan...”

Aku kembali mendongak untuk melihat si sumber suara, yang ternyata adalah Akira. Ya ampun, kukira siapa. Suaranya lemas sekali dan wajahnya begitu kusut. Padahal biasanya dia berwajah kaku dan dingin, tapi sekarang wajahnya udah seperti es krim meleleh yang bisa dipotong dengan sedotan.

“Ya, hati-hati...” Jawabku pada Akira.

Aku kembali mengecek balasan e-mail dari adikku.

[NGGAK MAU]

Kenapa harus pake caps lock sih!!?? Segitu nggak maunya pulang pake limo?!

Setelah membereskan semua bawaanku, aku mengunci ruang OSIS dan berjalan keluar sekolah. Hn, limo sudah menunggu, dan aku tidak melihat adikku dimana-mana. Mungkin dia sudah pulang duluan.

Aku segera masuk ke limo dan mengatakan pada supirku kalau hari ini lagi-lagi aku tidak berhasil membujuk adikku untuk pulang bersama. Sepanjang jalan, aku hanya memperhatikan orang-orang yang berjalan lalu-lalang. Tiba-tiba, aku melihat adikku berjalan pulang bersama dengan... seorang yang sepertinya kukenal. Tunggu dulu... itu Akira! Kenapa mereka berjalan berdua!?

“B...BERHENTI! Aku turun disini!”

Aku langsung turun dari limo dan berlari mengejar dua makhluk yang terlihat aneh dan mencurigakan ketika bersama itu.

“Tunggu! Hinata!”

Mereka langsung menoleh ke arahku, wajah Akira terlihat sangat terkejut.

K...Kaichou...” Ujar Akira.

Onii-chan, ada apa? Bukannya onii-chan pulang naik limo?” Tanya Hinata dengan polosnya.
Dasar bodoh! Dia ini nggak sadar kalau kakaknya datang karena khawatir?

“Aku akan ikut jalan pulang bareng kamu...” Setelah bicara pada adikku, aku beralih ke Akira dan menatapnya sinis. “Lalu kamu ngapain jalan pulang dengan adikku?”

“Aku... tiba-tiba dia...” Akira wajahnya panik dan pucat.

“Ah! Onii-chan! Aku yang nyamperin Akira-senpai dan ngajak pulang bareng! Nee? Akira-senpai?” Tiba-tiba Hinata membela Akira, apa-apaan konspirasi ini? Akira hanya mengangguk-angguk, wajahnya entah kenapa terlihat lebih kucel dari yang sebelumnya.

“Baiklah kalau begitu...” Aku melihat sekeliling, ah! Itu dia! “Bagaimana kalau kita membeli minum dulu disana?” Aku menunjuk sebuah minimarket di ujung jalan.

“Untuk apa?” Tanya Hinata.

“Kita akan berjalan jauh kan? Lebih baik membawa persiapan... aku yang bayar...” Aku mengambil handphone ku dan mengirim e-mail ke supir kami untuk pulang duluan saja.

Mereka setuju, dan kami membeli minum dulu disana. Sebenarnya, tidak dibilang kami juga... Akira mengatakan mau duluan, tapi Hinata tidak mau ditinggal Akira, sehingga aku yang harus memaksanya supaya menunggu dulu.

Dalam perjalanan pulang, sampai berpisah, Akira tidak banyak bicara. Tapi itu membuatku kesal, karena Hinata malah banyak mengajak bicara Akira. Padahal aku ini kakaknya! Apa sih yang membuatnya lebih menyukai Akira daripada aku? Sepertinya aku harus bicara 4 mata dengan anggota OSIS teladan ini. Demi hubungan harmonisku dengan adik kesayanganku ini.

-To be Continued-

A/N
Kelar~! itu dia chapter 2 nya~! Semoga ceritanya makin menarik yah... 
Terimakasih buat kalian yang sudah baca dari awal sampai kemari, dan buat semua yang terlibat dalam pembuatan fanfic ini...

Jangan lupa tinggalkan komentarnya juga~ (OwO)d
arigatooou~!  (^w^)/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar