Jangan ragu untuk meninggalkan komentar...
Karena saran, masukan, dan berbagai celotehan kalian, sangat berarti untuk kami...

Jumat, 01 November 2013

Chapter 05

*Kanade POV*

Matahari mulai menuju ke arah barat. Perlahan, menghilangkan cahaya terangnya dan terganti oleh lembahyung senja.

Aku sedikit mengalihkan pandanganku ke arah jam dinding yang ada di dekat pintu masuk ruanganku, dan ternyata memang jam sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Ruangan kesenian ini bisa dibilang ruanganku seorang. Aku adalah satu-satunya guru kesenian yang ada di Tengoku Gakuen, jadi wajar saja kalau ruangan ini sudah menjadi hak-ku kan?

Walau jam sekolah sudah berakhir kurang lebih satu jam yang lalu, biasanya masih ada saja beberapa murid yang memilih menetap untuk tetap di sekolah. Aku terkadang heran dengan tingkah mereka tersebut. Rasanya saat jamanku dulu, tiap mendengar bel tanda pembelajaran berakhir, anak-anak langsung kabur dari sekolah. Atau itu hanya kebiasaanku saja yah? Tapi sekolah itu memang membosankan, nee, Kuro-chan?

KOAAAK

Ah, aku pasti dianggap bodoh bicara dengan seekor gagak. Ah, biarlah... setidaknya gagak adalah mahluk hidup. Daripada aku bicara dengan tabung reaksi, seperti salah satu rekanku?

sraag

Nah, itu dia. Sudah kutebak pasti akan ada yang datang juga hari ini.

 AU, OC, OOC (semoga nggak terlalu)
disclaimer : SEVENTH HEAVEN adalah milik rejet
T+


*Normal POV*

Sensei, aku mohon... pergilah kencan denganku!”

Terlihat seorang gadis dengan rambut yang diikat ekor kuda menunduk 90 derajat dihadapan seorang guru yang memiliki postur tegap. Wajah sang gadis terlihat sedikit menahan malu, setelah apa yang baru saja terang-terangan dia ucapkan. Butuh keberanian untuk mengajak kencan seorang guru, apalagi guru itu bisa dibilang adalah guru yang paling populer di sekolah ini. Hanya saja bila kita perhatikan, wajah sang guru yang baru saja menerima pernyataan cinta tersebut, sungguh lempeng.

He? Maaf, apakah kau tidak salah orang?” Kali ini sang guru berambut hitam itu angkat bicara. Ekspresi di wajahnya masih tidak berubah, dari awal dia melihat gadis ini datang ke ‘ruangannya’.

“Tidak mungkin aku salah orang! A... aku menyukai sensei! Aku menyukai Oguro-sensei! Karena itu, sekali saja... aku mohon pergilah denganku!” Sang murid masih mempertahankan posisi menunduknya, seperti enggan menunjukan ekspresi wajahnya ke orang yang dia sukai ini.

Sou ka...” Sosok yang dipanggil Oguro-sensei itu tersenyum dengan ramahnya. “Kalau begitu berhentilah menunduk seperti itu. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu?”

Gadis berambut coklat itu menampakan wajahnya. Warna merah sudah menghiasi wajahnya yang bisa dibilang lumayan manis. Mungkin tidak ada salahnya bagi gadis ini mengharapkan cintanya terbalas oleh sensei yang diidolakan oleh seantero sekolah, bahkan mungkin di luar sekolah fans nya juga banyak. Apalagi bila dia melihat ekspresi wajah dari sensei yang ada dihadapannya ini, dia tersenyum dengan sangat memikat, seperti biasanya.

“Nah... kalau begini kan terlihat lebih manis.” Dia tersenyum sambil mengusap kepala gadis di hadapannya. “Tapi sepertinya aku belum bisa membenarkan hubungan antara guru dan murid. Mungkin lain kali kalau kau sudah lulus dari sini kita bisa jalan berdua, sebagai rekan tentunya.” Sambil tersenyum, sensei yang bernama Oguro Kanade itu melepaskan usapannya lalu pergi meninggalkan gadis itu diruangan sendirian.


Nee... nee... Tsuracchi~ sudah mendengar kabar belum?” Seorang gadis bertubuh kecil dengan semangatnya mengajak ngobrol teman yang duduk di belakangnya, yang baru saja sampai di kelas tersebut.

“Kabar apa Nicchi? Bagus atau bagus banget kabarnya? Mfufufu...” Jawab gadis yang diajak bicara dengan suara tertawa khasnya, sepertinya dia sudah tahu arah pembicaraan ini.

“Kudengar Kanade-sensei lagi-lagi mematahkan hati seorang murid!” Ucap gadis yang dipanggil Nicchi tersebut dengan semangat 45, toh di ruangan ini yang ada hanya dua gadis nyentrik itu.

“Heee? Lagi??!! Rasanya baru beberapa hari yang lalu ada gadis yang patah hati gara-gara beliau~” Kali ini gadis yang dipanggil Tsuracchi itu menjawabnya dengan semangat 45 juga.

“Yah, dari sumber yang ‘terpercaya’,gadis kurang beruntung itu dari kelas kita.”

“Hee??!! Jangan bilang kalau itu Ranze?!!”

SRAAAAAAAAAAAAAAAAAG

“KYAAAAAAAAAAAA!” Dua gadis itu teriak bersamaan. Sepertinya tidak mengantisipasi akan ada murid yang datang pada saat itu kecuali mereka.

Yosh... Ohayou...” Kali ini gadis berkacamata dengan wajah malasnya masuk kelas.

“Ranze??!!!!!” Sepertinya kedatangan gadis itu, tetap membuat dua orang gadis yang sepertinya teman dekatnya itu kaget walau sudah tahu siapa yang datang.

“Kenapa wajah kalian kaget begitu? Seperti melihat hantu saja.” Jawab gadis itu sambil mengambil posisi duduk disebelah gadis berambut twintails nanggung.

“Wajahmu itu memang seperti hantu tahu!” Ujar Nicchi.

Memang tidak salah, gadis yang dipanggil Ranze itu selain datang dengan wajah yang seperti tidak tidur satu abad, rambut dan seragamnya juga terlihat sangat tidak rapi. Bila kita gambarkan, sekarang dia seperti arwah gadis yang pulang sekolah lalu dirampok dan dibuang ke jurang. *ok itu lebay*

“Ra... Ranze... kenapa kau datang jam segini? Kamu Ranze kan? Bukan arwah yang menyamar menjadi dia kan?” Kali ini si twintails yang kembali angkat bicara, wajahnya sudah berubah pucat, seperti menampakkan kalau dia sedang ketakutan.

Baka Tsurara! Tentu saja ini aku!” Jawab gadis itu seperti tidak peduli, lalu dia mulai meringkuk di mejanya. Mencari posisi enak untuk kegiatan rutinnya—tidur.

“Kau datang pagi ke sekolah ini tidak seperti biasanya Ranpyon. Lagipula, wajahmu itu buruk banget. Jangan bilang kemarin kamu baru saja ditolak oleh Kanade-sensei!” Nicchi kembali membuka pembicaraan.

Sepertinya kata-katanya berhasil membuat si sleepinghead  ini bangun. “Heh! Maaf saja yah kalo wajahku buruk! Ini memang sudah dari sananya!” Dia menjawab dengan kesal.

“Dan masalah aku datang pagi itu gara-gara tadi malam aku tidak bisa tidur, terlalu banyak menonton DVD. Waktu aku lihat jam, ternyata sudah jam setengah 7, yasudah aku langsung berangkat sekolah. Kepalaku pusiiiiiiiiiiiiing~~~~” Kali ini ekspresi kesalnya berubah menjadi rengekan yang terlihat sedikit OOC. “Oh iya, soal Kanade-sensei, dari mana kamu mendengar kabar itu?”

“HEEEE??!! JADI BENAR KAU YANG DITOLAK?!!” Dua temannya langsung balik bertanya dengan semangat, yang disertai ekspresi kaget.

BAKA! SIAPA YANG BILANG BEGITU HAH?!”

“JADI KAMU DITERIMA OLEH KANADE-SENSEI??!!” Kali ini dua sekawan itu menampakan ekpresi kaget disertai wajah yang seolah mengatakan ‘IMPOSIBRUUU.

Enggak! Ah, maksudku belum!”

“Syukurlaah...” Kali ini ekspresi lega menghiasi dua temannya.

“Apa maksudnya hah?!!” Ekspresi kesal kembali menghiasi wajahnya. “Aku tidak menyatakan perasaanku ke Kanade-sensei! Aku tidak sebodoh itu untuk nembak dia sekarang. Apalagi beberapa hari yang lalu, ada Kohai yang baru ditolak mentah-mentah oleh dia kan?”

“I... iya juga sih... Siapapun yang menembak dia, pasti punya keberanian yang cukup yah?” Ucap Tsurara.

“Yah, dan sepertinya Ranpyon nggak mungkin banget punya keberanian seperti itu.”

“Maaf saja yah! ==*”

SRAAAAAAAG

Pintu kembali terbuka, kali ini menampakan sosok dua orang berlawanan jenis. Satu memiliki rambut biru langit dan yang satu memiliki warna rambut burgundy.

Ohayaou~ Hah? Ranze??!” Gadis yang memiliki rambut burgundy itu kaget. Ekspresinya tidak beda dengan dua rekannya yang tadi.

“Yo Shin-chan~” Gadis yang dipanggil Ranze itu menjawab dengan wajah khasnya.

Ohayou Aouji-kun!” Kali ini Nicchi menampakan senyum cerianya ke arah pemuda yang datang bersama gadis yang dipanggil Shin-chan tersebut.

Setelah itu tanpa basa-basi, gadis mungil itu langsung menarik rekannya yang ada di sebelah Akira untuk duduk di bangku yang memang seharusnya dia tempati. Menjauhkannya dari Aouji Akira.

Ohayou Yukimura-san. Ohayou minna.” Kali ini pemuda yang dipanggil Aouji-kun menjawab, sayangnya dengan ekspresi yang datar—seperti biasanya.

Ohayou ketua kelas~” Kali ini Tsurara menjawab dengan wajah manisnya. Tapi disela-sela wajah yang terlihat baik tersebut, sepertinya Nicchi yang ada di depannya bisa mendengar suara Tsurara yang sedang menahan tertawa.


**Akira POV**

Hari ini Brown-sensei yang membuka jam pembelajaran, karena itu keadaan kelasku sudah bisa dikatakan aman. Setidaknya bisa dipastikan tidak ada murid yang datang telat, apalagi late-master sudah ada di kelas, bahkan lebih dahulu dari aku. Jadi sepertinya hari ini mood wali kelas kami akan sedikit membaik, yah semoga saja dia tidak memberikan kuis dadakan lagi.

“Apakah ada yang tahu kemana Matsuoka-san?” Mint-sensei membuka pembicaraan di pagi itu, setelah mengecek daftar hadir yang dia pegang.

Sial, ternyata masih ada yang tidak masuk hari ini!

“Tadi orang tuanya memberikan kabar kalau dia sedang sakit, sensei.” Ucap seorang gadis yang duduk di barisan depan. Aku kurang ingat siapa namanya.

“Baiklah, kalau begitu mari kita mulai pembelajaran hari ini. Kuharap salah satu dari kalian ada yang akan memberikan ringkasan pembelajaran dariku hari ini untuk Matsuoka-san, karena minggu depan aku akan mengadakan kuis.”

Hah?! Apa katanya? Kuis? Kenapa guru ini semena-mena sekali pada kami? Lagipula kenapa tidak ada seorang muridpun yang menolak kuis dari dia? Apakah karena dia terlalu menakutkan sebagai guru? Ah! Kenapa aku juga tidak berani menentangnya?

“Jadi siapa salah satu dari kalian yang akan memberikan ringkasan ke rumah Matsuoka-san?” Dia kembali bertanya.

Baiklah, sepertinya mau tidak mau, aku yang notabene ketua kelas harus mengambil tugas ini, menyebalkan sekali.

“Biar aku saja...” Aku mengangkat tanganku, tapi sepertinya tadi ada orang lain yang berbicara sama sepertiku.

“Baiklah, Aouji-san dan Tamaki-san, kalian bertanggung jawab atas ini.”

Eh?


Jam sekolah sudah selesai, dan sekarang aku dan Tamaki sedang berjalan bersama menuju rumah Matsuoka. Padahal aku sendiri saja sudah cukup membawakan ringkasan untuk Matsuoka. Lalu kenapa Tamaki ini dari tadi jalannya menunduk terus? Kalau dia menabrak sesuatu, aku yang repot kan?

“Oi, Tamaki.”

“Hah? Iya? Apa?” Tamaki mengangkat wajahnya, menatapku. Entah kenapa wajahnya merah begitu.

“Aku bisa mengantarnya sendiri, kau bisa langsung pulang saja.”

“Rumahku… dekat dengan Matsuoka-san…” Tamaki menatapku dengan pandangan bingung, namun langsung membuang wajah. “I…ini bukan berarti aku mau menemani Aouji-san! Aku hanya merasa tanggung jawab saja kok, karena rumahnya dekat dengan rumahku!”

Kenapa dia malah membentakku???

“Aku juga bertanggung jawab sebagai ketua kelas! Bukannya mau menemanimu atau apa! Ini sangat tidak menyenangkan…”

Apa-apaan dia? Aku mempercepat langkahku, rasanya menyebalkan. Ingin saja aku cepat-cepat sampai ke rumah Matsuoka dan menyelesaikan semua ini.

“A…Aouji-san!” Tiba-tiba Tamaki memanggilku.

“Apa?” Aku menoleh ke arahnya yang sudah tertinggal dibelakangku.

“Rumahnya Matsuoka-san, bukan ke arah sana, tapi arahnya kesini…”

Tamaki menunjuk ke jalan didepannya.

. . .

Ini memalukan dan tidak menyenangkan.


Rumah Matsuoka terlihat sederhana, Tamaki baru saja memencet bel dan bicara lewat intercom. Tak lama, pintu terbuka, dan seorang gadis kecil menampakkan dirinya. Sepertinya itu adiknya Matsuoka.

Gadis kecil itu menjelaskan kalau kakaknya dari semenjak kemarin memang belum keluar dari kamarnya. Dengan sedikit memohon, Tamaki berhasil membujuk gadis itu untuk membawa kami berdua ke kamarnya untuk membujuk Matsuoka keluar kamar.

Dari luar kamar, kami bisa mendengar suara seorang wanita yang sedang menangis. Kalau aku mendengar suara ini pada malam hari saat aku sedang sendirian, mungkin aku akan tidak berani pergi ke kamar mandi sendirian. Tidak, tidak… bukan waktunya memikirkan hal seperti ini.

“Aku tinggal ya, mau mengerjakan pe-er… jaaa…” Gadis kecil itu pergi meninggalkan aku dan Tamaki begitu saja.

“Oi, Tamaki!”

“Eh? Apa?”

“Kamu ketuk pintunya sana…” Perintahku.

“Ke…kenapa harus aku?” Tamaki melihatku dengan tatapan penolakan.

“Kamu tetangganya kan?”

“Tapi, Aouji-san ketua kelas… jadi lebih berperan dong!”

“Cih… Kalau kamu tidak mau mengetok pintu, aku akan menggedor pintunya…”

“Ha-?” Tamaki terlihat terkejut. “Ba…baiklah! Aku yang akan mengetuknya… tapi ini bukan berarti aku menurutimu atau apa lho!” Tamaki membuang muka dan mengetuk pintu kamar Matsuoka.

Tok tok tok

Ano… Matsuoka-chan? Ini aku, Tamaki… dengan…” Tamaki melirikku sedikit. “Dengan Aouji-san…”
Suara tangisannya berhenti, tapi tidak ada jawaban apa-apa.

“Aku dan Aouji-san membawakan ringkasan pelajaran hari ini… kamu… disitu kan?”

Masih tidak ada jawaban. Apa maunya si Matsuoka ini, hah? Tamaki sudah baik-baik begitu, dan dia sama sekali tidak menjawab?

Aku melihat Tamaki wajahnya mulai panik, sepertinya dia mulai bingung akan bicara apalagi. Sepertinya kali ini aku yang harus mencoba turun tangan.

TOK TOK TOK TOK

“Matsuoka! Kau ada di dalam kan? Paling tidak, jawab kita!” Ujarku dengan nada membentak. “Kalau kamu tidak keluar, apa kamu akan terus bolos sampai akhir tahun pelajaran?! Paling tidak keluar, ambil ringkasannya, dan segera selesaikan masalahmu! Menangis dan mengurung diri di kamar tidak akan menyelesaikan apa-apa!”

Sepertinya aku terlalu cerewet.

Klek

Hm? Pintunya terbuka. Sepertinya ceramahku tadi berhasil meluluhkan hatinya.

Tiba-tiba, ringkasan yang dipegang Tamaki disambar dengan cepatnya. Dan-

BLUKKK BLAMMM

Sesuatu tiba-tiba membentur wajahku dengan keras.

“A…????”

Tamaki mengambil sesuatu dari lantai. “Ini… boneka?” Ujarnya bertanya-tanya sambil memegang suatu benda abstrak, yang tadi dilempar Matsuoka ke wajahku.

“Berikan padaku!” Aku menyambar benda itu dan mengamatinya.

Terlihat seperti boneka burung… dengan warna hitam… dan pita merah di lehernya… tapi terlihat sudah tercabik-cabik oleh sesuatu. Tunggu, sepertinya aku familiar dengan bentuk ini.

“Seperti gagaknya Kan- Oguro-sensei?” Ujar Tamaki.

“Benar… tapi… kenapa dia harus melempar benda ini ke wajahku?!” Ujarku setengah berteriak.

“Mungkin karena… Aouji-san itu keponakan dari Oguro-sensei?” Tamaki bicara sambil menghindari tatapanku.

“Apa hubungannya itu?”

Kami pamit dari rumah Matsuoka, aku dan Tamaki sudah berpisah jalan. Sekarang aku berjalan pulang sendirian, aku menyempatkan diri untuk membeli tiga tangkai bunga mawar berwarna biru. Mawar biru ini warnanya memang tidak asli karena menggunakan pewarna khusus, tetapi tetap saja indah. Tapi, entah kenapa aku masih memikirkan soal boneka gagak itu.

Ah, akhirnya aku sampai juga dirumah. Aku langsung berjalan ke ruang tengah untuk menemui Okaa-sama, aku ingin memberikan bunga mawar ini padanya.

Okaa-sama… hari ini, aku membawakan bunga mawar biru… Okaa-sama pernah bilang, setiap melihat mawar berwarna biru, Okaa-sama jadi teringat aku kan?” Aku tersenyum kepada sebuah foto wanita yang selalu kupanggil Okaa-sama itu.

Okaa-sama sudah lama meninggal, sekarang aku sudah sangat terbiasa dengan suasana rumah tanpa sosok ibu ini.

Hm? Aku baru sadar kalau ada bunga krisan putih disebelah foto Okaa-sama. Sepertinya aku tahu siapa yang menaruh bunga itu disini. Rasanya aku ingin membuangnya, tapi…

KOAAAK

Aku melompat kaget mendengar suara yang lumayan familiar itu. Saat aku menengok ke arah halaman dari pintu yang terbuka, aku melihat seekor gagak dengan pita merah di lehernya. Gagak itu bertengger di pohon sakura yang bunganya sudah hampir rontok semua, dia mengawasiku.

Aku pergi meninggalkan ruang tengah dan berjalan menuju kamarku, aku malas bertemu dengan majikan gagak itu.

Tunggu, tadi siang aku mendengar gosip kalau ada siswi yang ditolak lagi oleh Kanade ji-san… jangan-jangan, yang dimaksud itu, Matsuoka? Jangan bilang kepadaku, lagi-lagi aku harus terlibat oleh masalah yang orang itu lakukan. Menyebalkan! Apakah aku harus menemui dia dan menyuruhnya minta maaf kepada Matsuoka? Melihat wajahnya saja aku malas!


Aku membuka pintu ruang tengah, dan benar saja, sekarang dihadapanku sudah ada lelaki berambut hitam yang sedang duduk termenung. Lelaki itu sepertinya segera mengalihkan pandangannya kepadaku setelah sebelumnya perhatiannya hanya dia pusatkan kearah kolam di halaman yang bisa terlihat dari pintu yang terbuka lebar.

“Kau masih saja suka melamun, seperti orang bodoh. Untung saja murid-murid di sekolah tak ada yang mengetahui kebiasaanmu yang ini.” Aku mendekatinya dan mengambil tempat dudukku di sisi meja yang ada di sebelahnya.

“Kebiasaan mengkritikmu itu tidak mau hilang dari dulu yah… Aku tidak tahu apa yang keluargamu ajarkan kepadamu, kamu memang tidak memiliki mulut manis sama sekali dari dulu.”

“Terimakasih atas pujiannya.”

Nee, ada apa kau tiba-tiba mendatangiku? Biasanya saat mengetahui ada aku, kau lebih memilih mengunci dirimu di kamar sampai pada akhirnya nii-sama memanggilmu dan memaksamu keluar untuk menemuiku.” Dia menyindirku, sepertinya memang dia tidak ingin aku berbasa basi soal maksud kedatanganku ini.

“Kau pintar mendeteksi keadaan seperti biasanya, ne, kuso jiji.” Aku membalas dengan komentar pedas. “Soal gadis yang baru-baru ini kau tolak, dia murid di kelasku.”

“Maaf, aku tidak tau kalau itu anak kelasmu Aki-chan~” dia membalas dengan sedikit senyuman yang dia tahan. Senyuman kekanak-kanakan yang menyebalkan! “Lalu apa yang harus aku lakukan? Menerima tawaran kencannya? Mengajaknya ke love hotel lalu melakukan H, setelah itu besoknya melakukan kegiatan seperti guru dan murid seperti biasanya?”

“Aku tidak memintamu untuk melakukan hal tak terpuji seperti itu!!!”

“Apa yang bisa aku lakukan? Itu keinginan para murid wanita jaman sekarang, kalau aku harus mengikuti keinginannya sih boleh saja. Hanya saja aku memang tidak bisa mengabulkan keinginannya lebih dari satu kali. Gomen nee~”

“Jangan memandang rendah teman sekelasku! Kau kira semua wanita mau saja kau jadikan teman mainmu? Ingat, dia itu muridmu!” Aku membalasnya dengan nada yang sedikit membentak.

Aku muak dengan balasannya yang seperti itu. Aku tahu dia itu mantan host yang terkenal, tapi tidak semua gadis mau jadi ‘mainan’nya.

“Nah, sekarang kau sudah tahu kan masalahnya?” Dia membalas bentakanku dengan senyuman sinis.

“A... apa maksudmu kuso jiji?” Aku mebalasnya dengan wajah bingung.

“Kau yang bilang kan, kalau dia itu muridku? Jadi aku tidak mungkin mengabulkan keinginanya untuk menjadi teman kencannya.”

“Aku malas berdebat tentangmu tentang masalah ini. Aku hanya merasa miris saja terhadap wanita yang mencintaimu. Sosok sepertimu itu tidak pantas untuk dicintai.”

“Terimakasih atas pujiannya Aki-chan~” Dia lagi-lagi memanggilku dengan panggilan anehnya. “Nee, dari dulu aku memang tidak pernah menjanjikan cinta untuk semua wanita yang aku kencani, jadi aku memang tidak berharap mereka mencintaiku. Jadi disaat aku harus mengakhiri kencanku dengan seorang wanita, yah mau tidak mau, mereka harus menerimanya. Mengetahui muridku menyukaiku dan mengharapkan aku menjadi kekasihnya, sungguh tidak ada dalam kamusku. Mereka tidak berpikir sama seperti wanita yang biasa mencariku untuk menemaninya dan bersenang-senang.”

“Sepertinya memang tidak bisa ditolong lagi orang sepertimu ini.” Aku menarik nafas selintas untuk membersihkan pikiranku dari semua rasa amarah yang entah mengapa selalu menjamur kalau aku bertemu dengan kuso jiji ini. “Carilah penganti ibu-ku, atau kau akan selamanya menjadi seperti ini.”

“Terimakasih sarannya Akira-kun.” Dia menjawab dengan senyuman pahit.


“Aku tidak menyangka Fumi-sama akan meninggal di usia semuda ini. Kenji-sama pasti mendapatkan pukulan yang sangat keras.”

“Kudengar Fumi-sama menjadi sakit-sakitan itu akibat adik laki-lakinya.”

“Kalau tidak salah adik laki-lakinya itu seorang host.”

‘Ka... kalian... bisakah...

“Kasihan sekali Akira-kun. Fumi-sama meninggal saat dia masih kecil.”

“Akira-kun itu dekat sekali dengan Fumi-sama. Pasti dia akan sangat terpukul dengan kejadian ini.”

Ku... kumohon... bisakah kalian di...

“Kasihan sekali...”

Diam...

“Kasihan...”

“DIAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAM!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

Aku membuka paksa mataku. Sial, aku mimpi buruk. Entah mengapa setiap habis berdebat dengan kuso jiji itu, pasti saja aku teringat kejadian itu. Walau sekarang sudah lama berlalu, tapi tetap saja rasa sakit itu tidak mudah hilang. Ah sial! Akira, kau itu sudah 17 tahun, seharusnya kau kuat. Sial! Kenapa aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipiku?

Cih! Okaa-sama, kenapa kau tidak membantuku melupakan kesedihan ini?!!

 
~Flashback ~
**[8 Years Ago]**

 Jam pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi, tetapi aku masih memutuskan untuk berdiam diri di sekolah, menunggu seseorang untuk menjemputku. Ya, walau memang sekarang aku sudah menginjak kelas 3 SD, tetap saja Otou-sama menyewa seorang supir pribadi untuk menjemputku. Walau aku sudah bilang aku bisa pulang sendiri, tetap saja dia tidak mau membiarkan aku pulang sendiri bersama temanku. Memang sih jarak sekolah ke rumah lumayan jauh, tapi tetap saja memalukan kalau setiap hari aku harus menunggu jemputanku datang kan?

Hari ini entah mengapa jemputanku sedikit terlambat dari biasanya, dan itu membuatku senang. Biasanya kalau terlambat begini, yang menjemputku bukan supir pribadi yang membosankan itu. Jadi sepertinya tidak ada salahnya menunggu beberapa menit. Yah, walaupun menunggu juga tidak menyenangkan sama sekali.

Nee, Akira-kun! Ternyata kau disitu!!!” Suara yang familiar terdengar memanggilku. Ah! Itu pasti dia.

“Kemana saja kau Baka-jiji? Aku sudah pulang dari 15 menit yang lalu!!” Aku berlari kearahnya sambil memasang muka sebalku.

Gomen Aki-chan~ sehabis ini, aku akan membelikanmu ice cream deh.” Dia membalasku dengan cengiran santainya.

“Jangan panggil aku dengan panggilan begitu, baka jiji! Aku bukan anak perempuan!” Aku menginjak kakinya kesal. Aku benci dipanggil begitu. Tidak menyenangkan!

I... ittai!!! Kamu nggak imut sama sekali!!!” Dia bicara begitu sambil mengelus kaki nya yang sakit. “Yasudahlah kalau begitu, sebagai hukumannya hari ini aku tak akan membelikanmu ice cream!”

Baka jiji, tidak ada satupun yang bisa dibanggakan dari dia.  “Siapa juga yang mau ice cream dari baka jiji seperti mu?” Aku merendahkannya. Padahal sebenarnya aku memang kurang suka makanan manis.

“Baiklah, daripada membelikanmu ice cream lebih baik aku gunakan uangku untuk membeli game console yang baru.”

Aah… game apa? Aku boleh ikut main??”

“Tidak boleh, kau harus belajar yang benar, bukan santai-santai main game!” Ujarnya sambil menjewer telingaku.

I... ITTAAAAI!”

Setelah itu aku dan Kanade ji-san pergi meninggalkan sekolah. Hari ini ternyata menyenangkan, akhirnya aku bisa merasakan naik transportasi umum lagi. Kanade ji-san adalah adik dari ibuku, dan saat ini dia adalah mahasiswa dari perguruan tinggi yang cukup terkenal. Walau tampangnya kadang terlihat acak-acakan dan tidak terurus, dia bisa membiayai kehidupan selama menjadi mahasiswa dengan uangnya sendiri. Okaa-sama pernah cerita, kalau keluarga Okaa-sama itu adalah keluarga yang tidak kaya seperti keluarga Otou-sama. Karena itu, Kanade ji-san selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk dirinya. Sejujurnya aku mengaguminya atas keinginan kuatnya  itu.

Nee, Akira-kun... sepertinya aku melupakan sesuatu. Bagaimana kalau kau telepon supir pribadimu untuk menjemputmu disini?” Dia tiba-tiba berhenti dan mengeluarkan handphone nya.

He?? Apa? Keluapaan apa?”

“Hari ini seharusnya aku ada janji dengan seseorang... aku lupa kalau aku janji bertemu dengannya sekarang.” Ujarnya masih sambil sibuk dengan handphone nya.

“Ja... jadi kau mau meninggalkan aku sendiri disini?” aku bertanya memastikan. Seperti biasanya, baka jiji ini juga tidak dapat diandalkan 100%.

“Tidak juga sih... bagaimana ya... ah! Aku akan menunggu mu sampai supir pribadimu datang kemari.”

“TIDAK MAU!” Aku membantah ide nya itu. “Aku tahu jalan pulang, tidak usah panggil supir pribadi. Aku bisa sendiri.” Aku mulai berjalan meninggalkan dia, sepertinya sifat pelupa dan seenaknya pamanku ini memang tidak bisa hilang begitu saja.

“TUNGGU!!” Dia memberhentikanku sambil mengantongi kembali handphonenya. “Lupakan soal janji tersebut, sepertinya aku salah hari.”

“Dasar baka jiji! Bilang saja kau memang tidak mau mengantarku kan?”

“Kau ini, kata-kata mu pedas seperti biasanya ya.”

Lalu pada akhirnya dia mengantarkanku. Aku tidak tahu dia berbohong atau tidak soal masalah janji pentingnya itu, tapi entah mengapa aku cukup senang karena akhirnya dia tetap mengantarkan ku pulang.


Tadaima!”

Okaeri, Akira-kun!” Okaa-sama menyambutku di rumah. Iya, hanya aku seorang. Tadi saat sampai di depan gerbang, baka jiji sepertinya ditelfon oleh seseorang, dan benar-benar harus meninggalkan aku saat itu juga.

Okaa-sama, tadi Kanade-jisan yang mengantarku.”

“Eh? yang benar? Sekarang mana dia?”

“Tadi ada yang menelponnya, sepertinya penting. Dia langsung pergi.”

“Ah, anak itu. Apakah dia tidak menyempatkan diri untuk bertemu dengan kakaknya? Sepertinya belakangan ini dia menjadi orang yang super sibuk.”

Nee Okaa-sama, kalau kau rindu jiji kenapa tidak kamu hubungi saja dia?”

“E... enak saja! Siapa yang rindu sama ji-san mu yang baka itu? Aku hanya kurang suka saja dengan sikapnya yang tidak menghubungi kakaknya sama sekali, semenjak dia memiliki pekerjaan baru. Apalagi dia tidak mau memberitahu kakaknya sendiri tentang pekerjaannya.

**[2 years after]**

Hari ini baka jiji itu lagi-lagi tidak menepati janjinya. Aku tahu sekarang aku sudah naik kelas, tapi seharusnya dia menyempatkan waktu untuk menememaniku kan? Padahal sebentar lagi ulang tahun Okaa-sama, dan dia bilang mau menemaniku untuk mencari kado.

Tapi apa yang kudapat? Aku sudah menunggu selama kurang lebih satu jam di depan stasiun, tapi dia belum datang. Bukannya aku tak bisa mencari kado sendiri, hanya saja dia mengatakan akan menemaniku ke tempat yang bagus untuk membelinya. Lagipula dia seharusnya bisa memberikan Okaa-sama sesuatu juga, mengingat sudah dua tahun ini dia tidak pernah datang ke pesta ulang tahun Okaa-sama. Ah, yasudahlah! Mungkin dia ketiduran, sama seperti alasan biasanya.

Aku menelusuri jalan yang memang baru pertama kali aku datangi. Otou-sama tidak akan memperbolehkanku untuk keluar tanpa di ‘temani’, apalagi ke tempat yang dipenuhi oleh keramaian ini. Untuk pergi kesini, Okaa-sama sampai rela memohon kepada Otou-sama agar memperbolehkanku keluar bersama baka jiji itu. Karena itu, kalau aku harus kembali, sayang sekali perjuangan Okaa-sama untuk membuat Otou-sama memperbolehkan aku keluar bersama kuso jiji itu sia-sia. Yasudahlah, aku ini anak laki-laki, untuk apa aku takut akan keramaian?

Oke, baiklah! Salahkan kemampuan navigasiku yang kurang baik. Sekarang aku berada di distrik antah berantah. Baiklah, tenang Akira! Kalau kau tersesat, lebih baik kau mencari pos polisi terdekat, yang penting aku ingat nomor telefon rumah. Pertama-tama cari orang yang terlihat baik untuk dimintai tolong. Aku mencari sekeliling sosok yang terlihat tidak mencurigakan, hingga pada akhirnya aku melihat orang yang sangat kukenal.

“Kanade-jisan?” Aku merasa tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Sekarang laki-laki yang terlihat seperti Kanade-jisan sedang bersama seorang wanita yang terlihat sangat dewasa, entah mengapa mereka berdua terlihat mesra. Seingatku, sebelumnya aku pernah melihat Kanade-jisan bersama wanita yang lain, tapi yang jelas bukan wanita yang sama dengan yang satu ini.

“A...Akira-kun?” Pemuda itu berbalik, memandang kearahku.

Tidak ada keraguan, itu memang Kanade-jisan. “Apa yang kau lakukan disini?” Aku bertanya sebisanya.

Masih belum bisa saja mempercayai sosok itu adalah si baka jiji. Apalagi melihat wanita yang ada di sebelahnya, wanita itu terlihat berumur lebih tua dari Okaa-sama, hanya saja make up yang dia gunakan menutupi kenyataan itu.

Nee, seharusnya itu yang aku tanyakan kepadamu. Kenapa kau ada di sini? Kamu tidak bersama siapapun?” Dia bertanya. Ternyata memang dia lupa akan janjinya hari ini.

“A... aku menunggumu dari tadi di stasiun. Kukira kau masih berada di apartemenmu dan tertidur karena kelelahan atas apa yang kau kerjakan. Ternyata kau sudah ada di sini, bersama dengan tante jelek ini. Okaa-sama masih 1000x lebih cantik dari pada dia!”

He? Kanade-kun, siapa anak ini? Jangan bilang dia anakmu? Kurang ajar sekali mulutnya.” Ujar tante itu sambil melihatku dengan tatapan kesal.

“ENAK SAJA! SIAPA YANG MAU PUNYA AYAH SEPERTI DIA?! PEMUDA YANG TIDAK BISA DIANDALKAN SEPERTI DIA! OKAA-SAMA MEMILIKI MIMPI BURUK APA MEMILIKI ADIK YANG MENYUSAHKAN SEPERTI DIA?!!” Aku mengeluarkan semua emosiku lalu pergi meninggalkannya dengan tante itu.

Dia melupakan janji untuk membeli kado untuk Okaa-sama hanya demi tante itu. Entah mengapa aku sangat mengidolakan dia, itu hal yang bodoh eh?


Aku baru saja pulang dari sekolah, setelah diantar pulang oleh supir pribadiku. Hari ini adalah hari ulang tahun Okaa-sama. Setelah kejadian beberapa minggu lalu, dimana aku tersesat di sebuah distrik saat akan janjian bersama baka-jiji, Otou-sama tidak membiarkan aku kemana-mana sendiri. Bahkan melarang aku pergi bersama baka-jiji. Pada akhirnya aku mencari kado untuk Okaa-sama bersama beberapa orang kepercayaan ayah. Aku tahu Otou-sama sangat memperhatikanku, walau dia tidak bisa selalu ada di didekatku.

Ah! Akhirnya harinya datang, sekarang adalah hari ulang tahun Okaa-sama. Ngomong-ngomong, kemana Okaa-sama? Biasanya dia menyambutku saat aku datang.

PRAAAAAAAAAAAAAAAANG

Suara itu berasal dari ruang tengah. Aku segera berlari ke arah ruang tengah. Entah mengapa aku mendapat firasat buruk soal ini.

“HENTIKAN! APA YANG KAU LAKUKAN?!!” Teriakan itu berasal dari Okaa-sama.

Sekarang aku mendapati Okaa-sama yang sedang menangis dan dihadapannya sudah terdapat Kanade-jisan yang memecahkan beberapa benda pecah belah yang ada di ruangan itu. Aku merasa tidak bisa melangkahkan diri ke tengah mereka berdua. Aku hanya bisa mengintip dari balik pintu yang terbuka.

“INI YANG MEMBUATMU BERUBAH SEPERTI HAH? HARTA SEPERTI INI YANG MEMBUATMU BERUBAH? HARTA INI YANG MEMBUATMU LEBIH MEMILIH LAKI-LAKI TUA ITU DIBANDING AKU HAH?!” Aku melihat ekspresi menakutkan dari Kanade-jisan, entah mengapa saat itu aku tidak bisa melakukan apa-apa.

“Be... berubah apa maksudmu?” Ibu menjawab dengan sedikit gemetar. “Aku tak pernah berubah, kau yang berubah.”

“KAU PIKIR AKU TIDAK TAHU ALASAN MU MENIKAH DENGAN SI TUA ITU? SADARLAH FUMI, LELAKI ITU HANYA BISA MEMBUATMU MENJAUH DARIKU!” Kanade-jisan mendekati Okaa-sama kali ini. “Coba kau lihat dirimu sekarang, kau sudah menyuruhku untuk menghentikan pekerjaanku heh? Kau mau mengancamku agar tidak mendekati keluarga mu eh? Dan sekarang kau bilang kau tidak berubah?” Kali ini dia mulai mendekatkan wajahnya kehadapan Okaa-sama.

“MENJAUH DARIKU!!” Okaa-sama mendorongnya. “A... aku bukannya ingin kau menjauhi keluargaku! Aku hanya ingin kau menghentikan pekerjaanmu itu dan beralih ke pekerjaan yang lebih baik. Kenji-sama bisa membantu mencarikan yang lebih baik untuk...mu...” Suara Okaa-sama mengecil saat mengatakan itu.

Entah mengapa sekarang yang bisa aku lakukan hanya terdiam.

“Jadi kau berpikir Kenji-sama mu itu lelaki paling benar?” Kali ini Kanade-jisan sudah menghentikan bentakannya, namun nada bicaranya menjadi lebih sinis. “Baiklah, aku tak akan pernah mendekati keluargamu lagi. Nikmati saja uang berlimpahmu itu, dan suami yang tidak mencintaimu sama sekali! Aku tidak akan meninggalkan pekerjaanku ini!” Sepertinya dia mulai melemah.

Dia berbalik menjauhi ibuku, berjalan menuju diriku, bukan... lebih tepatnya berjalan menuju pintu keluar.

Tu... tunggu... Ka... Kanade...” Okaa-sama menangis sesenggukan.

Sepertinya lelaki ini tidak mendengarnya, bahkan tidak sadar akan keberadaanku yang dilewatinya begitu saja.

Kuso aku membencimu...” Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku saat dia melewatiku.

**[1 year after]**

Hari ini seperti biasa, aku dijemput oleh orang kepercayaan Otou-sama. Orang kepercayaan disini, bukanlah supir pribadi yang Otou-sama sewa untukku, tetapi rekan kerjanya di perusahaan tempat Otou-sama bekerja. Aku heran kenapa Otou-sama masih belum mempercayakan aku pergi sendiri keluar rumah, padahal sebentar lagi aku akan menjadi siswa SMP. Tidak mungkin aku dijemput oleh ji-san yang berbeda setiap hari kan? Bisa-bisa temanku berpikir yang aneh aneh terhadapku.

Seperti biasa, tujuan pulang bukan rumahku, melainkan tempat Okaa-sama dirawat. Okaa-sama sudah dirawat di rumah sakit sejak setahun yang lalu, dokter bilang Okaa-sama memang memiliki jantung yang lemah sejak dulu. Aku tidak tahu soal penyakit Okaa-sama yang ini, sampai saat kondisi Okaa-sama benar-benar drop.

Kondisi Okaa-sama memburuk semenjak pertengkarannya dengan kuso jiji itu. Bahkan sampai sekarang kuso jiji itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali di sini.

“Terimakasih Ji-san sudah mengantarkanku kesini.” Aku keluar dari mobil rekan ayahku saat sudah sampai di depan rumah sakit tempat Okaa-sama dirawat.

“Iya, sampaikan salamku pada Tou-san mu ya Akira-kun, dan semoga Kaa-san mu cepat sembuh. Maaf ji-san harus segera kembali ke kantor.” Ucapnya, lalu dia pergi meninggalkanku.

Aku melangkahkan kakiku ke rumah sakit. Mendatangi kamar tempat Okaa-sama dirawat. Sudah setahun ini aku menjadi pengunjung tetap rumah sakit, membuat orang-orang disini hafal akan wajahku. Tidak sedikit dari mereka yang menengurku atau memberikan semangat padaku. Sekarang di dalam kamar Okaa-sama, aku bisa melihat Otou-sama yang tertidur di sofa sebelah tempat tidur Okaa-sama. Sepertinya dia kelelahan lagi.

Okaeri, Akira-kun!” Okaa-san menyambutku seperti biasa. Tak ada yang berubah dari sambutannya ini, walau sekarang dia hanya bisa berdiam diri di kasur rumah sakit.

Tadaima...” Aku tersenyum ke arah Okaa-sama lalu mendekatinya. Mengambil posisi di bangku sebelah kasurnya. “Nee, Okaa-sama, hari ini bagaimana keadaanmu?”

“Baik, seperti biasanya.” Okaa-sama tersenyum. Senyuman yang setiap hari dia berikan kepadaku dari dulu. “Bagaimana sekolahmu?”

“Baik, tidak perlu dikhawatirkan.” Aku balas tersenyum. “Hari ini adalah hari pengumuman hasil tes masuk SMP, dan aku masuk ke SMP pilihan pertamaku.”

“Wah, sudah kuduga kamu memang anak yang pintar. Seperti Otou-sama mu.” Ibu tertawa kecil. “Tak terasa kau sudah akan menjadi anak SMP Akira-kun, kapan upacara kelulusanmu?”

“Satu bulan lagi, kelasku berencana untuk menampilkan sesuatu pertunjukan kejutan.” Aku berbicara dengan semangat, sungguh melihat Okaa-sama yang sekarang, rasanya seperti tidak ada penyakit yang sedang menyerangnya. “Kuharap Okaa-sama  dan Otou-sama dapat menghadiri acaranya.”

“Baiklah, aku harap aku tidak akan mengecewakanmu.” Okaa-sama mengelus kepalaku masih sambil tersenyum dengan lembutnya. “Aku tidak mau mengecewakan orang yang aku sayangi.” Ujarnya pelan.

 

Hari ini adalah hari kelulusanku, cuacanya lumayan sejuk diawal musim semi. Kelasku mengadakan paduan suara untuk kelulusan tahun ini. Aku ditunjuk mengisi beberapa bagian solo pada paduan suara kali ini, walau pada dasarnya aku tidak mau karena menurutku ini merepotkan.

Sebelum pentas, aku mengecek kearah bangku penonton, mencari sosok yang aku harapkan datang. Ah! Ada! Aku melihat Otou-sama datang kesini, setelah sekian lama Otou-sama tidak pernah datang ke sekolahku. Entah mengapa hal itu membuatku senang. Walaupun Okaa-sama tidak dapat menemani, aku sudah bersyukur salah satu dari orang tuaku bisa melihat pertunjukan pertamaku. Lagi pula aku tidak mungkin memaksakan Okaa-sama untuk melihatku kan?

Upacara kelulusan sudah selesai, Otou-sama menghampriku untuk meberikan selamat padaku sebelum akhirnya mengajakku pulang. Hari ini rute yang kami tempuh untuk mengunjungi Okaa-sama berbeda, tetapi aku kenal sekali dengan rute ini. Ya, ini adalah rute dari sekolah menuju rumahku. Sudah setahun ini aku tak pernah melewati rute ini, entah mengapa aku sedikit rindu akan rute ini.

Ngomong-ngomong, kenapa tumben sekali aku dibawa langsung ke rumah? Apakah hari ini Okaa-sama sudah sembuh dan dibolehkan pulang?

Aku sampai di halaman rumahku, mendapati banyak mobil yang terpakir di depan pintu pagar. Apa yang mereka lakukan? Apakah sebanyak itu mobil yang mengantar ibu pulang dari rumah sakit? Mungkin yang datang itu rekan ayah yang ingin menjenguk Okaa-sama?

Nee, Otou-sama... kenapa semua orang berkumpul di rumah kita?” Aku bertanya, sepertinya memang suasana seperti ini tidak nyaman.

Ne, Akira... lebih baik kamu masuk saja kedalam. Okaa-sama sudah menunggumu.” Otou-sama menjawab dengan senyum yang lembut.

Namun, entah mengapa senyuman Otou-sama membuat hatiku sesak… atau mungkin karena aku jarang melihatnya tersenyum?

Aku berlari menuju pintu masuk rumah yang terbuka lebar. Mendapati orang berkumpul dengan pakaian hitam. Entah mengapa aku tidak suka melihat warna hitam, itu mengingatkanku pada kuso jiji yang entah menghilang kemana setelah menyakiti Okaa-sama.

Nee, itu Akira-kun ya? Masih muda sekali dia.”

Aku mendengar bisik-bisik orang di sekeliling ku. Entah mengapa aku benci mendengarnya.

“Kasihan sekali, apakah Kenji-sama sudah memberi tahu Akira-kun?”

Aku semakin merasakan firasat buruk. Segera aku berlari ke arah ruang tengah.

Sungguh aku tidak dapat mempercayai pemandangan di hadapanku. Pe... peti mati? Kenapa ada di ruangan ini?

“Kasihan sekali Akira-kun, Fumi-sama meninggal terlalu cepat.”

“Akira-kun itu dekat sekali dengan Fumi-sama. Pasti mengetahui kabar ini dia akan sangat terpukul.”

Aku mendekati peti mati tersebut. Memastikan siapa yang ada di dalamnya. Wangi dupa yang menusuk hidungku seperti tidak mempengaruhi ku. Walaupun sudah ada foto Okaa-sama yang terpampang jelas di samping peti itu, tetap saja aku tidak percaya.

Nee... Okaa-sama... katakan padaku kalau ini bohong kamu tidak mungkin pergi meninggalkanku kan? Se... seharusnya kamu sekarang bilang ‘Okaeri Akira-kun!’ dan menghentikan lelucon ini. I... ini sangat tidak lucu... Okaa-sama... Okaa-sama?!!!” Aku tak bisa membendung air mataku.

“Kudengar Fumi-sama menjadi sakit-sakitan semenjak dia bertengkar dengan adiknya.”

“Aku tidak tahu kalau Fumi-sama memiliki adik.”

“Kudengar adiknya Fumi-sama itu tampan, dan dia itu host terkenal.”

Orang-orang itu... kenapa mereka masih sempat membicarakan aib seseorang disaat seperti ini? apakah mereka tidak punya hati?

“Maaf nyonya, kalau sudah selesai dengan berdoanya, bisa menunggu di ruang depan. Banyak tamu lain yang ingin berdoa juga.”

Aku mendengar Otou-sama ‘mengusir’ beberapa tamu tidak sopan itu, kemudian dia berpaling ke arahku, dan mendekatiku. Aku baru sadar, matanya sudah sangat merah, dan dia masih bisa tersenyum dengan lembut ke arahku. Melihat Otou-sama yang seperti itu, rasanya dada ini makin sesak.

“Akira-kun…” Otou-sama menepuk kepalaku lembut. “Kamu boleh melepas perasaanmu…” Seketika itu juga, aku langsung memeluk ayahku, dan menangis keras dipelukannya.

Ini semua gara-gara baka jiji itu. Kalau dia tidak membuat Okaa-sama pingsan pada hari itu, ini semua tidak akan terjadi.

Ini semua salahnya.

Tapi kenapa orang itu tidak datang? Kenapa baka jiji itu tidak datang ke pemakaman kakaknya sendiri? Kakaknya yang dia cintai itu? Apa yang dia lakukan saat ini?

Kuso jiji.

**End of Flashback**

Malam itu akhirnya aku kesulitan untuk tidur kembali. Akibatnya, pagi ini rasanya badanku lemas sekali.

“Semalam begadang mengerjakan tugas ya?” Otou-sama bertanya padaku ketika aku datang ke ruang makan.

Dia sudah terlihat siap untuk berangkat kerja, sarapannya belum disentuh. Seperti biasanya, dia menungguku datang untuk sarapan bersamaku.

“Ah, tidak…” Aku duduk di hadapan meja seberang Otou-sama. “Hanya mimpi buruk…”

Otou-sama tersenyum lembut, sepertinya dia sudah tahu mimpi buruk apa yang kumaksud.

“Ayo kita mulai makan, sebelum dingin.” Ujarnya.

Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum, dan seperti biasanya, kami bertukar cerita-cerita dengan santai mengenai keseharian kami masing-masing.

Kuharap Otou-sama tidak akan meninggalkanku secepat Okaa-sama. Terkadang aku takut dia terlalu memaksakan dirinya untuk bekerja, padahal umurnya sudah hampir setengah abad.


Hari ini di sekolah untungnya Matsuoka sudah mulai masuk, walaupun ketika aku melihatnya, dia malah memelototiku. Menyebalkan.

Tidak ada yang menarik hari ini di sekolah. Rasanya sedang tidak mood untuk melakukan apapun. Ketika rapat OSIS, dari jendela, aku dapat melihat sosok menyebalkan itu di tempat parkir. Kuso jiji itu terlihat sedang berjongkok disebelah motornya, dengan gagaknya yang bertengger di jok motornya. Melihatnya saja membuat moodku semakin buruk.

Setelah rapat berakhir, aku langsung bergegas pulang. Ingin cepat-cepat menyelesaikan PR Matematika dan tidur. Untung saja hari ini Hinata tidak membuntutiku, Itsuki-kaichou tadi mengatakan kalau adiknya itu sedang tidak enak badan karena memakan yoghurt basi.

 “Aouji-san!”

Tiba-tiba ada beberapa murid perempuan yang memanggilku, tidak ada yang kukenal satupun.

“Ada apa?” Jawabku malas.

“Apa OSIS punya ban motor cadangan?” Tanya yang memiliki rambut panjang dan lurus.

“HAH??” Pertanyaan macam apa itu? “Tentu saja tidak ada! Memangnya kalian pikir OSIS itu tempat yang menyediakan segalanya?” Jawabku ketus, moodku menjadi makin berantakan.

Gomenne, Aouji-san… habisnya dulu kaichou pernah memberikan aku ban sepeda cadangan saat ban sepedaku bocor… jadi kupikir bisa minta tolong OSIS…” Jawab yang rambutnya kuncir samping.

Aku mendesah pelan. “Memangnya kali ini ban motor kalian ada yang bocor?” Aku berusaha menjawab sebaik yang kubisa.

“Bukan kami, tapi ban motornya Oguro-sensei…”

Mendengar nama itu disebut, aku semakin bĂȘte. “Minta tolong dengan yang lain saja. Aku buru-buru.” Aku langsung meninggalkan mereka.

Aku tidak peduli dengan keadaan kuso jiji itu. Biarkan saja dia terkena karma.

-To be Continued-



A/N

Yosh! Berakhir juga chapter 5 nya XD
well, akhirnya kami bikin chapter bersambung juga yah *dor
untuk update selanjutnya, mungkin kami akan update tiap 2 minggu sekali orz
maaf atas ketidak nyamanannya :'3
tapi kami harap minna-sama masih tetap menantikan update dari kami yang nista ini~
yup, silahkan tinggalkan saran dan kritik minna sama di kolom komentar :"3 komentar minna sama sangat membantu kami melanjutkan project ini

arigachuuuuu~~~ ^w^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar