*Kanade POV*
Matahari mulai menuju ke arah barat. Perlahan, menghilangkan cahaya
terangnya dan terganti oleh lembahyung senja.
Aku sedikit mengalihkan pandanganku ke arah jam dinding yang ada di
dekat pintu masuk ruanganku, dan ternyata memang jam sudah menunjukkan pukul
setengah 6 sore. Ruangan kesenian ini bisa dibilang ruanganku seorang. Aku
adalah satu-satunya guru kesenian yang ada di Tengoku Gakuen, jadi wajar saja kalau ruangan ini sudah menjadi
hak-ku kan?
Walau jam sekolah sudah berakhir kurang lebih satu jam yang lalu,
biasanya masih ada saja beberapa murid yang memilih menetap untuk tetap di
sekolah. Aku terkadang heran dengan tingkah mereka tersebut. Rasanya saat
jamanku dulu, tiap mendengar bel tanda pembelajaran berakhir, anak-anak
langsung kabur dari sekolah. Atau itu hanya kebiasaanku saja yah? Tapi sekolah
itu memang membosankan, nee, Kuro-chan?
KOAAAK
Ah, aku pasti dianggap bodoh bicara dengan seekor gagak. Ah,
biarlah... setidaknya gagak adalah mahluk hidup. Daripada aku bicara dengan
tabung reaksi, seperti salah satu rekanku?
sraag
Nah, itu dia. Sudah kutebak pasti akan ada yang datang juga hari ini.
AU, OC, OOC
(semoga nggak terlalu)
disclaimer
: SEVENTH HEAVEN adalah milik rejet
T+
*Normal POV*
“Sensei, aku mohon...
pergilah kencan denganku!”
Terlihat seorang gadis dengan rambut yang diikat ekor kuda menunduk 90
derajat dihadapan seorang guru yang memiliki postur tegap. Wajah sang gadis
terlihat sedikit menahan malu, setelah apa yang baru saja terang-terangan dia
ucapkan. Butuh keberanian untuk mengajak kencan seorang guru, apalagi guru itu
bisa dibilang adalah guru yang paling populer di sekolah ini. Hanya saja bila
kita perhatikan, wajah sang guru yang baru saja menerima pernyataan cinta
tersebut, sungguh lempeng.
“He? Maaf, apakah kau tidak
salah orang?” Kali ini sang guru berambut hitam itu angkat bicara. Ekspresi di
wajahnya masih tidak berubah, dari awal dia melihat gadis ini datang ke
‘ruangannya’.
“Tidak mungkin aku salah orang! A... aku menyukai sensei! Aku menyukai Oguro-sensei!
Karena itu, sekali saja... aku mohon pergilah denganku!” Sang murid masih
mempertahankan posisi menunduknya, seperti enggan menunjukan ekspresi wajahnya
ke orang yang dia sukai ini.
“Sou ka...” Sosok yang
dipanggil Oguro-sensei itu tersenyum
dengan ramahnya. “Kalau begitu berhentilah menunduk seperti itu. Bagaimana aku
bisa menjawab pertanyaanmu?”
Gadis berambut coklat itu menampakan wajahnya. Warna merah sudah
menghiasi wajahnya yang bisa dibilang lumayan manis. Mungkin tidak ada salahnya
bagi gadis ini mengharapkan cintanya terbalas oleh sensei yang diidolakan oleh seantero sekolah, bahkan mungkin di
luar sekolah fans nya juga banyak. Apalagi bila dia melihat ekspresi wajah dari
sensei yang ada dihadapannya ini, dia
tersenyum dengan sangat memikat, seperti biasanya.
“Nah... kalau begini kan terlihat lebih manis.” Dia tersenyum sambil
mengusap kepala gadis di hadapannya. “Tapi sepertinya aku belum bisa
membenarkan hubungan antara guru dan murid. Mungkin lain kali kalau kau sudah lulus
dari sini kita bisa jalan berdua, sebagai rekan tentunya.” Sambil tersenyum, sensei yang bernama Oguro Kanade itu
melepaskan usapannya lalu pergi meninggalkan gadis itu diruangan sendirian.
“Nee... nee... Tsuracchi~ sudah mendengar kabar belum?” Seorang gadis
bertubuh kecil dengan semangatnya mengajak ngobrol
teman yang duduk di belakangnya, yang baru saja sampai di kelas tersebut.
“Kabar apa Nicchi? Bagus atau bagus banget kabarnya? Mfufufu...” Jawab gadis yang diajak bicara dengan
suara tertawa khasnya, sepertinya dia sudah tahu arah pembicaraan ini.
“Kudengar Kanade-sensei
lagi-lagi mematahkan hati seorang murid!” Ucap gadis yang dipanggil Nicchi
tersebut dengan semangat 45, toh di
ruangan ini yang ada hanya dua gadis nyentrik itu.
“Heee? Lagi??!! Rasanya baru beberapa hari yang lalu ada gadis yang
patah hati gara-gara beliau~” Kali ini gadis yang dipanggil Tsuracchi itu
menjawabnya dengan semangat 45 juga.
“Yah, dari sumber yang ‘terpercaya’,gadis
kurang beruntung itu dari kelas kita.”
“Hee??!! Jangan bilang kalau itu Ranze?!!”
SRAAAAAAAAAAAAAAAAAG
“KYAAAAAAAAAAAA!” Dua gadis itu teriak bersamaan. Sepertinya tidak
mengantisipasi akan ada murid yang datang pada saat itu kecuali mereka.
“Yosh... Ohayou...” Kali ini gadis berkacamata dengan wajah malasnya masuk
kelas.
“Ranze??!!!!!” Sepertinya kedatangan gadis itu, tetap membuat dua
orang gadis yang sepertinya teman dekatnya itu kaget walau sudah tahu siapa
yang datang.
“Kenapa wajah kalian kaget begitu? Seperti
melihat hantu saja.” Jawab gadis itu sambil mengambil posisi duduk
disebelah gadis berambut twintails
nanggung.
“Wajahmu itu memang seperti hantu tahu!” Ujar Nicchi.
Memang tidak salah, gadis yang dipanggil Ranze itu selain datang
dengan wajah yang seperti tidak tidur satu abad, rambut dan seragamnya juga
terlihat sangat tidak rapi. Bila kita gambarkan, sekarang dia seperti arwah
gadis yang pulang sekolah lalu dirampok dan dibuang ke jurang. *ok itu lebay*
“Ra... Ranze... kenapa kau datang jam segini? Kamu Ranze kan? Bukan arwah yang menyamar menjadi
dia kan?” Kali ini si twintails yang kembali angkat bicara, wajahnya
sudah berubah pucat, seperti menampakkan kalau dia sedang ketakutan.
“Baka Tsurara! Tentu saja
ini aku!” Jawab gadis itu seperti tidak peduli, lalu dia mulai meringkuk di
mejanya. Mencari posisi enak untuk kegiatan rutinnya—tidur.
“Kau datang pagi ke sekolah ini tidak seperti biasanya Ranpyon.
Lagipula, wajahmu itu buruk banget.
Jangan bilang kemarin kamu baru saja ditolak oleh Kanade-sensei!” Nicchi kembali membuka pembicaraan.
Sepertinya kata-katanya berhasil membuat si sleepinghead ini bangun. “Heh!
Maaf saja yah kalo wajahku buruk! Ini
memang sudah dari sananya!” Dia menjawab dengan kesal.
“Dan masalah aku datang pagi itu gara-gara tadi malam aku tidak bisa
tidur, terlalu banyak menonton DVD. Waktu aku lihat jam, ternyata sudah jam
setengah 7, yasudah aku langsung berangkat sekolah. Kepalaku pusiiiiiiiiiiiiing~~~~” Kali ini
ekspresi kesalnya berubah menjadi rengekan yang terlihat sedikit OOC. “Oh iya,
soal Kanade-sensei, dari mana kamu
mendengar kabar itu?”
“HEEEE??!! JADI BENAR KAU YANG DITOLAK?!!” Dua temannya langsung balik
bertanya dengan semangat, yang disertai ekspresi kaget.
“BAKA! SIAPA YANG BILANG BEGITU HAH?!”
“JADI KAMU DITERIMA OLEH KANADE-SENSEI??!!”
Kali ini dua sekawan itu menampakan ekpresi kaget disertai wajah yang seolah
mengatakan ‘IMPOSIBRUUU.’
“Enggak! Ah, maksudku
belum!”
“Syukurlaah...” Kali ini ekspresi lega menghiasi dua temannya.
“Apa maksudnya hah?!!” Ekspresi
kesal kembali menghiasi wajahnya. “Aku tidak menyatakan perasaanku ke Kanade-sensei! Aku tidak sebodoh itu untuk nembak dia sekarang. Apalagi beberapa
hari yang lalu, ada Kohai yang baru
ditolak mentah-mentah oleh dia kan?”
“I... iya juga sih... Siapapun yang menembak dia, pasti punya
keberanian yang cukup yah?” Ucap
Tsurara.
“Yah, dan sepertinya Ranpyon nggak
mungkin banget punya keberanian
seperti itu.”
“Maaf saja yah! ==*”
SRAAAAAAAG
Pintu kembali terbuka, kali ini menampakan sosok dua orang berlawanan
jenis. Satu memiliki rambut biru langit dan yang satu memiliki warna rambut burgundy.
“Ohayaou~ Hah? Ranze??!” Gadis
yang memiliki rambut burgundy itu
kaget. Ekspresinya tidak beda dengan dua rekannya yang tadi.
“Yo Shin-chan~” Gadis yang
dipanggil Ranze itu menjawab dengan wajah khasnya.
“Ohayou Aouji-kun!” Kali ini Nicchi menampakan senyum
cerianya ke arah pemuda yang datang bersama gadis yang dipanggil Shin-chan tersebut.
Setelah itu tanpa basa-basi, gadis mungil itu langsung menarik rekannya
yang ada di sebelah Akira untuk duduk di bangku yang memang seharusnya dia
tempati. Menjauhkannya dari Aouji Akira.
“Ohayou Yukimura-san. Ohayou
minna.” Kali ini pemuda yang dipanggil Aouji-kun menjawab, sayangnya dengan ekspresi yang datar—seperti biasanya.
“Ohayou ketua kelas~” Kali
ini Tsurara menjawab dengan wajah manisnya. Tapi disela-sela wajah yang
terlihat baik tersebut, sepertinya Nicchi yang ada di depannya bisa mendengar
suara Tsurara yang sedang menahan tertawa.
**Akira POV**
Hari ini Brown-sensei yang
membuka jam pembelajaran, karena itu keadaan kelasku sudah bisa dikatakan aman. Setidaknya bisa dipastikan tidak ada
murid yang datang telat, apalagi late-master
sudah ada di kelas, bahkan lebih dahulu dari aku. Jadi sepertinya hari ini mood wali kelas kami akan sedikit
membaik, yah semoga saja dia tidak
memberikan kuis dadakan lagi.
“Apakah ada yang tahu kemana Matsuoka-san?” Mint-sensei membuka
pembicaraan di pagi itu, setelah mengecek daftar hadir yang dia pegang.
Sial, ternyata masih ada yang tidak masuk hari ini!
“Tadi orang tuanya memberikan kabar kalau dia sedang sakit, sensei.” Ucap seorang gadis yang duduk
di barisan depan. Aku kurang ingat siapa namanya.
“Baiklah, kalau begitu mari kita mulai pembelajaran hari ini. Kuharap
salah satu dari kalian ada yang akan memberikan ringkasan pembelajaran dariku
hari ini untuk Matsuoka-san, karena
minggu depan aku akan mengadakan kuis.”
Hah?! Apa katanya?
Kuis? Kenapa guru ini semena-mena sekali pada kami? Lagipula kenapa tidak ada
seorang muridpun yang menolak kuis dari dia? Apakah karena dia terlalu
menakutkan sebagai guru? Ah! Kenapa
aku juga tidak berani menentangnya?
“Jadi siapa salah satu dari kalian yang akan memberikan ringkasan ke
rumah Matsuoka-san?” Dia kembali bertanya.
Baiklah, sepertinya mau tidak mau, aku yang notabene ketua kelas harus mengambil tugas ini, menyebalkan sekali.
“Biar aku saja...” Aku mengangkat tanganku, tapi sepertinya tadi ada
orang lain yang berbicara sama sepertiku.
“Baiklah, Aouji-san dan
Tamaki-san, kalian bertanggung jawab
atas ini.”
Eh?
Jam sekolah sudah selesai, dan sekarang aku dan Tamaki sedang berjalan bersama menuju rumah Matsuoka. Padahal aku sendiri saja sudah cukup membawakan ringkasan untuk Matsuoka. Lalu kenapa Tamaki ini dari tadi jalannya menunduk terus? Kalau dia menabrak sesuatu, aku yang repot kan?
“Oi, Tamaki.”
“Hah? Iya? Apa?” Tamaki mengangkat wajahnya, menatapku. Entah kenapa
wajahnya merah begitu.
“Aku bisa mengantarnya sendiri, kau bisa langsung pulang saja.”
“Rumahku… dekat dengan Matsuoka-san…”
Tamaki menatapku dengan pandangan bingung, namun langsung membuang wajah. “I…ini
bukan berarti aku mau menemani Aouji-san!
Aku hanya merasa tanggung jawab saja kok, karena rumahnya dekat dengan rumahku!”
Kenapa dia malah membentakku???
“Aku juga bertanggung jawab sebagai ketua kelas! Bukannya mau
menemanimu atau apa! Ini sangat tidak menyenangkan…”
Apa-apaan dia? Aku mempercepat langkahku, rasanya menyebalkan. Ingin
saja aku cepat-cepat sampai ke rumah Matsuoka dan menyelesaikan semua ini.
“A…Aouji-san!” Tiba-tiba
Tamaki memanggilku.
“Apa?” Aku menoleh ke arahnya yang sudah tertinggal dibelakangku.
“Rumahnya Matsuoka-san,
bukan ke arah sana, tapi arahnya kesini…”
Tamaki menunjuk ke jalan didepannya.
. . .
Ini memalukan dan tidak menyenangkan.
Rumah Matsuoka terlihat sederhana, Tamaki baru saja memencet bel dan
bicara lewat intercom. Tak lama,
pintu terbuka, dan seorang gadis kecil menampakkan dirinya. Sepertinya itu
adiknya Matsuoka.
Gadis kecil itu menjelaskan kalau kakaknya dari semenjak kemarin
memang belum keluar dari kamarnya. Dengan sedikit memohon, Tamaki berhasil
membujuk gadis itu untuk membawa kami berdua ke kamarnya untuk membujuk
Matsuoka keluar kamar.
Dari luar kamar, kami bisa mendengar suara seorang wanita yang sedang
menangis. Kalau aku mendengar suara ini pada malam hari saat aku sedang
sendirian, mungkin aku akan tidak berani pergi ke kamar mandi sendirian. Tidak,
tidak… bukan waktunya memikirkan hal seperti ini.
“Aku tinggal ya, mau mengerjakan
pe-er… jaaa…” Gadis kecil itu pergi meninggalkan aku dan Tamaki begitu saja.
“Oi, Tamaki!”
“Eh? Apa?”
“Kamu ketuk pintunya sana…” Perintahku.
“Ke…kenapa harus aku?” Tamaki melihatku dengan tatapan penolakan.
“Kamu tetangganya kan?”
“Tapi, Aouji-san ketua
kelas… jadi lebih berperan dong!”
“Cih… Kalau kamu tidak mau mengetok pintu, aku akan menggedor
pintunya…”
“Ha-?” Tamaki terlihat terkejut. “Ba…baiklah! Aku yang akan
mengetuknya… tapi ini bukan berarti aku menurutimu atau apa lho!” Tamaki membuang muka dan mengetuk pintu kamar Matsuoka.
Tok tok tok
“Ano… Matsuoka-chan? Ini aku, Tamaki… dengan…” Tamaki
melirikku sedikit. “Dengan Aouji-san…”
Suara tangisannya berhenti, tapi tidak ada jawaban apa-apa.
“Aku dan Aouji-san
membawakan ringkasan pelajaran hari ini… kamu… disitu kan?”
Masih tidak ada jawaban. Apa maunya si Matsuoka ini, hah?
Tamaki sudah baik-baik begitu, dan dia sama sekali tidak menjawab?
Aku melihat Tamaki wajahnya mulai panik, sepertinya dia mulai bingung
akan bicara apalagi. Sepertinya kali ini aku yang harus mencoba turun tangan.
TOK TOK TOK TOK
“Matsuoka! Kau ada di dalam kan?
Paling tidak, jawab kita!” Ujarku dengan nada membentak. “Kalau kamu tidak
keluar, apa kamu akan terus bolos sampai akhir tahun pelajaran?! Paling tidak
keluar, ambil ringkasannya, dan segera selesaikan masalahmu! Menangis dan
mengurung diri di kamar tidak akan menyelesaikan apa-apa!”
Sepertinya aku terlalu cerewet.
Klek
Hm? Pintunya terbuka. Sepertinya ceramahku tadi berhasil meluluhkan
hatinya.
Tiba-tiba, ringkasan yang dipegang Tamaki disambar dengan cepatnya.
Dan-
BLUKKK BLAMMM
Sesuatu tiba-tiba membentur wajahku dengan keras.
“A…????”
Tamaki mengambil sesuatu dari lantai. “Ini… boneka?” Ujarnya
bertanya-tanya sambil memegang suatu benda abstrak, yang tadi dilempar Matsuoka
ke wajahku.
“Berikan padaku!” Aku menyambar benda itu dan mengamatinya.
Terlihat seperti boneka burung… dengan warna hitam… dan pita merah di
lehernya… tapi terlihat sudah tercabik-cabik oleh sesuatu. Tunggu, sepertinya
aku familiar dengan bentuk ini.
“Seperti gagaknya Kan- Oguro-sensei?”
Ujar Tamaki.
“Benar… tapi… kenapa dia harus melempar benda ini ke wajahku?!” Ujarku
setengah berteriak.
“Mungkin karena… Aouji-san
itu keponakan dari Oguro-sensei?”
Tamaki bicara sambil menghindari tatapanku.
“Apa hubungannya itu?”
Kami pamit dari rumah Matsuoka, aku dan Tamaki sudah berpisah jalan.
Sekarang aku berjalan pulang sendirian, aku menyempatkan diri untuk membeli
tiga tangkai bunga mawar berwarna biru. Mawar biru ini warnanya memang tidak
asli karena menggunakan pewarna khusus, tetapi tetap saja indah. Tapi, entah
kenapa aku masih memikirkan soal boneka gagak itu.
Ah, akhirnya aku sampai juga dirumah. Aku langsung berjalan ke ruang
tengah untuk menemui Okaa-sama, aku
ingin memberikan bunga mawar ini padanya.
“Okaa-sama… hari ini, aku
membawakan bunga mawar biru… Okaa-sama
pernah bilang, setiap melihat mawar berwarna biru, Okaa-sama jadi teringat aku kan?”
Aku tersenyum kepada sebuah foto wanita yang selalu kupanggil Okaa-sama itu.
Okaa-sama sudah lama
meninggal, sekarang aku sudah sangat terbiasa dengan suasana rumah tanpa sosok
ibu ini.
Hm? Aku baru sadar kalau ada bunga krisan putih disebelah foto Okaa-sama. Sepertinya
aku tahu siapa yang menaruh bunga itu disini. Rasanya aku ingin membuangnya,
tapi…
KOAAAK
Aku melompat kaget mendengar suara yang lumayan familiar itu. Saat aku
menengok ke arah halaman dari pintu yang terbuka, aku melihat seekor gagak
dengan pita merah di lehernya. Gagak itu bertengger di pohon sakura yang
bunganya sudah hampir rontok semua, dia mengawasiku.
Aku pergi meninggalkan ruang tengah dan berjalan menuju kamarku, aku
malas bertemu dengan majikan gagak itu.
Tunggu, tadi siang aku mendengar gosip kalau ada siswi yang ditolak
lagi oleh Kanade ji-san…
jangan-jangan, yang dimaksud itu, Matsuoka? Jangan bilang kepadaku, lagi-lagi aku harus terlibat oleh masalah yang orang itu lakukan. Menyebalkan!
Apakah aku harus menemui dia dan menyuruhnya minta maaf kepada Matsuoka? Melihat
wajahnya saja aku malas!
Aku membuka pintu ruang
tengah, dan benar saja, sekarang dihadapanku sudah ada lelaki berambut hitam
yang sedang duduk termenung. Lelaki itu sepertinya segera mengalihkan
pandangannya kepadaku setelah sebelumnya perhatiannya hanya dia pusatkan kearah
kolam di halaman yang bisa terlihat dari pintu yang terbuka lebar.
“Kau masih saja suka
melamun, seperti orang bodoh. Untung saja murid-murid di sekolah tak ada yang
mengetahui kebiasaanmu yang ini.” Aku mendekatinya dan
mengambil tempat dudukku di sisi meja yang ada di sebelahnya.
“Kebiasaan mengkritikmu itu
tidak mau hilang dari dulu yah… Aku
tidak tahu apa yang keluargamu ajarkan kepadamu, kamu memang tidak memiliki mulut manis sama sekali dari dulu.”
“Terimakasih atas
pujiannya.”
“Nee, ada apa kau tiba-tiba mendatangiku? Biasanya saat mengetahui ada aku, kau
lebih memilih mengunci dirimu di kamar sampai pada akhirnya nii-sama memanggilmu dan memaksamu
keluar untuk menemuiku.” Dia menyindirku, sepertinya memang dia tidak ingin aku
berbasa basi soal maksud kedatanganku ini.
“Kau pintar mendeteksi
keadaan seperti biasanya, ne, kuso jiji.” Aku membalas dengan komentar pedas. “Soal gadis yang baru-baru ini
kau tolak, dia murid di kelasku.”
“Maaf, aku tidak tau kalau
itu anak kelasmu Aki-chan~” dia
membalas dengan sedikit senyuman yang dia tahan. Senyuman kekanak-kanakan yang
menyebalkan! “Lalu apa yang harus aku lakukan? Menerima tawaran kencannya?
Mengajaknya ke love hotel lalu
melakukan H, setelah itu besoknya
melakukan kegiatan seperti guru dan murid seperti biasanya?”
“Aku tidak memintamu untuk
melakukan hal tak terpuji seperti itu!!!”
“Apa yang bisa aku lakukan? Itu
keinginan para murid wanita jaman sekarang, kalau aku harus mengikuti
keinginannya sih boleh saja. Hanya saja aku memang tidak bisa mengabulkan
keinginannya lebih dari satu kali. Gomen
nee~”
“Jangan memandang rendah
teman sekelasku! Kau kira semua wanita mau saja kau jadikan teman mainmu? Ingat,
dia itu muridmu!” Aku membalasnya dengan nada yang sedikit membentak.
Aku muak dengan balasannya
yang seperti itu. Aku tahu dia itu mantan host yang terkenal, tapi tidak semua gadis mau jadi ‘mainan’nya.
“Nah, sekarang kau sudah tahu kan masalahnya?” Dia membalas bentakanku dengan senyuman sinis.
“A... apa maksudmu kuso jiji?” Aku mebalasnya dengan wajah bingung.
“Kau yang bilang kan, kalau dia itu muridku? Jadi aku tidak mungkin mengabulkan keinginanya
untuk menjadi teman kencannya.”
“Aku malas berdebat
tentangmu tentang masalah ini. Aku hanya merasa miris saja terhadap wanita yang
mencintaimu. Sosok sepertimu itu tidak pantas untuk dicintai.”
“Terimakasih atas pujiannya
Aki-chan~” Dia lagi-lagi memanggilku dengan panggilan anehnya. “Nee, dari dulu aku memang tidak pernah menjanjikan cinta untuk
semua wanita yang aku kencani, jadi aku memang tidak berharap mereka
mencintaiku. Jadi disaat aku harus mengakhiri kencanku dengan seorang
wanita, yah… mau tidak mau, mereka harus menerimanya. Mengetahui muridku menyukaiku dan mengharapkan
aku menjadi kekasihnya, sungguh tidak ada dalam kamusku. Mereka tidak berpikir
sama seperti wanita yang biasa mencariku untuk menemaninya dan
bersenang-senang.”
“Sepertinya memang tidak
bisa ditolong lagi orang sepertimu ini.” Aku menarik nafas selintas untuk
membersihkan pikiranku dari semua rasa amarah yang entah mengapa selalu
menjamur kalau aku bertemu dengan kuso jiji
ini. “Carilah penganti ibu-ku, atau kau akan selamanya menjadi seperti
ini.”
“Terimakasih sarannya Akira-kun.” Dia menjawab dengan senyuman pahit.
“Aku tidak menyangka Fumi-sama akan meninggal di usia semuda ini. Kenji-sama pasti mendapatkan pukulan yang sangat keras.”
“Kudengar Fumi-sama menjadi sakit-sakitan itu akibat
adik laki-lakinya.”
“Kalau tidak salah adik
laki-lakinya itu seorang host.”
‘Ka... kalian... bisakah...’
“Kasihan sekali Akira-kun. Fumi-sama meninggal saat dia masih kecil.”
“Akira-kun itu dekat sekali dengan Fumi-sama. Pasti dia akan sangat terpukul dengan kejadian ini.”
‘“Ku... kumohon... bisakah kalian di...’
“Kasihan sekali...”
‘Diam...’
“Kasihan...”
“DIAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAM!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Aku membuka paksa mataku.
Sial, aku mimpi buruk. Entah mengapa setiap habis berdebat dengan kuso jiji itu, pasti saja aku teringat kejadian itu. Walau sekarang sudah lama berlalu, tapi tetap saja
rasa sakit itu tidak mudah hilang. Ah sial! Akira, kau itu sudah 17 tahun,
seharusnya kau kuat. Sial! Kenapa aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipiku?
Cih! Okaa-sama, kenapa kau tidak membantuku melupakan kesedihan
ini?!!
~Flashback ~
**[8 Years Ago]**
Jam pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi, tetapi aku masih memutuskan untuk berdiam diri di sekolah, menunggu seseorang untuk menjemputku. Ya, walau memang sekarang aku sudah menginjak kelas 3 SD, tetap saja Otou-sama menyewa seorang supir pribadi untuk menjemputku. Walau aku sudah bilang aku bisa pulang sendiri, tetap saja dia tidak mau membiarkan aku pulang sendiri bersama temanku. Memang sih jarak sekolah ke rumah lumayan jauh, tapi tetap saja memalukan kalau setiap hari aku harus menunggu jemputanku datang kan?
Hari ini entah mengapa
jemputanku sedikit terlambat dari biasanya, dan itu membuatku senang. Biasanya
kalau terlambat begini, yang menjemputku bukan supir pribadi yang membosankan itu. Jadi sepertinya
tidak ada salahnya menunggu beberapa menit. Yah,
walaupun menunggu juga tidak menyenangkan sama sekali.
“Nee, Akira-kun! Ternyata
kau disitu!!!” Suara yang familiar terdengar memanggilku. Ah! Itu pasti dia.
“Kemana saja kau Baka-jiji? Aku sudah pulang dari 15
menit yang lalu!!” Aku berlari kearahnya sambil memasang muka sebalku.
“Gomen Aki-chan~ sehabis
ini, aku akan membelikanmu ice cream deh.” Dia membalasku dengan cengiran
santainya.
“Jangan panggil aku dengan
panggilan begitu, baka jiji! Aku
bukan anak perempuan!” Aku menginjak kakinya kesal. Aku benci dipanggil begitu. Tidak menyenangkan!
“I... ittai!!! Kamu nggak imut sama sekali!!!” Dia bicara begitu sambil mengelus kaki nya yang sakit. “Yasudahlah kalau
begitu, sebagai hukumannya hari ini aku tak akan membelikanmu ice cream!”
Baka jiji, tidak ada satupun yang bisa dibanggakan dari dia. “Siapa juga yang mau ice cream dari baka jiji seperti mu?” Aku merendahkannya. Padahal
sebenarnya aku memang kurang suka makanan manis.
“Baiklah, daripada
membelikanmu ice cream… lebih baik aku gunakan uangku untuk membeli game
console yang baru.”
“Aah… game apa? Aku boleh ikut main??”
“Tidak boleh, kau harus belajar
yang benar, bukan santai-santai main game!” Ujarnya sambil menjewer telingaku.
“I... ITTAAAAI!”
Setelah itu aku dan Kanade ji-san pergi meninggalkan sekolah. Hari ini ternyata
menyenangkan, akhirnya aku bisa merasakan naik transportasi umum lagi. Kanade ji-san adalah adik dari ibuku, dan saat ini dia adalah mahasiswa dari perguruan tinggi yang cukup terkenal. Walau
tampangnya kadang terlihat acak-acakan dan tidak terurus, dia bisa membiayai kehidupan selama
menjadi mahasiswa dengan uangnya sendiri. Okaa-sama
pernah cerita, kalau keluarga Okaa-sama
itu adalah keluarga yang tidak kaya seperti keluarga Otou-sama. Karena itu, Kanade ji-san selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik
untuk dirinya. Sejujurnya aku mengaguminya atas keinginan kuatnya itu.
“Nee, Akira-kun... sepertinya
aku melupakan sesuatu. Bagaimana kalau kau telepon supir pribadimu untuk
menjemputmu disini?” Dia tiba-tiba berhenti dan mengeluarkan handphone nya.
“He?? Apa? Keluapaan apa?”
“Hari ini seharusnya aku ada
janji dengan seseorang... aku lupa kalau aku janji bertemu dengannya sekarang.”
Ujarnya masih
sambil sibuk dengan handphone nya.
“Ja... jadi kau mau
meninggalkan aku sendiri disini?” aku bertanya memastikan. Seperti biasanya, baka jiji ini juga tidak dapat diandalkan 100%.
“Tidak juga sih... bagaimana
ya... ah! Aku akan menunggu mu sampai supir pribadimu datang kemari.”
“TIDAK MAU!” Aku membantah ide nya itu. “Aku tahu jalan pulang, tidak usah panggil supir pribadi. Aku bisa sendiri.” Aku mulai berjalan
meninggalkan dia, sepertinya sifat pelupa dan seenaknya pamanku ini memang tidak bisa hilang begitu saja.
“TUNGGU!!” Dia memberhentikanku sambil mengantongi kembali handphonenya. “Lupakan soal janji tersebut, sepertinya aku salah hari.”
“Dasar baka jiji! Bilang saja kau memang tidak mau mengantarku kan?”
“Kau ini, kata-kata mu pedas
seperti biasanya ya.”
Lalu pada akhirnya dia mengantarkanku. Aku tidak tahu dia berbohong atau tidak
soal masalah janji pentingnya itu, tapi entah mengapa aku cukup senang karena
akhirnya dia tetap mengantarkan ku pulang.
“Tadaima!”
“Okaeri, Akira-kun!” Okaa-sama menyambutku di rumah. Iya, hanya aku seorang.
Tadi saat sampai di depan gerbang, baka jiji sepertinya ditelfon oleh seseorang, dan benar-benar harus meninggalkan aku saat itu juga.
“Okaa-sama, tadi Kanade-jisan
yang mengantarku.”
“Eh? yang benar? Sekarang
mana dia?”
“Tadi ada yang menelponnya,
sepertinya penting. Dia langsung pergi.”
“Ah, anak itu. Apakah dia
tidak menyempatkan diri untuk bertemu dengan kakaknya? Sepertinya belakangan
ini dia menjadi orang yang super sibuk.”
“Nee Okaa-sama, kalau kau rindu jiji
kenapa tidak kamu hubungi saja dia?”
“E... enak saja! Siapa yang
rindu sama ji-san mu yang baka itu? Aku hanya kurang suka saja dengan
sikapnya yang tidak menghubungi kakaknya sama sekali, semenjak dia memiliki
pekerjaan baru. Apalagi dia
tidak mau memberitahu kakaknya sendiri tentang pekerjaannya.”
**[2 years after]**
Hari ini baka jiji itu lagi-lagi tidak menepati
janjinya. Aku tahu sekarang aku sudah naik kelas, tapi seharusnya dia
menyempatkan waktu untuk menememaniku kan?
Padahal sebentar lagi ulang tahun Okaa-sama,
dan dia bilang mau menemaniku untuk mencari kado.
Tapi apa yang kudapat? Aku
sudah menunggu selama kurang lebih satu jam di depan stasiun, tapi
dia belum datang. Bukannya aku tak bisa mencari kado sendiri, hanya saja dia mengatakan akan menemaniku ke tempat yang bagus untuk membelinya. Lagipula dia seharusnya
bisa memberikan Okaa-sama sesuatu
juga, mengingat sudah dua tahun ini dia tidak pernah datang ke pesta ulang
tahun Okaa-sama. Ah, yasudahlah! Mungkin dia ketiduran, sama seperti alasan biasanya.
Aku menelusuri jalan yang
memang baru pertama kali aku datangi. Otou-sama
tidak akan memperbolehkanku untuk keluar tanpa di ‘temani’, apalagi ke tempat yang dipenuhi oleh keramaian ini. Untuk pergi kesini, Okaa-sama sampai rela memohon kepada Otou-sama
agar memperbolehkanku keluar bersama baka
jiji itu. Karena itu, kalau aku harus kembali, sayang sekali perjuangan Okaa-sama untuk membuat Otou-sama memperbolehkan aku keluar
bersama kuso jiji itu sia-sia. Yasudahlah,
aku ini anak laki-laki, untuk apa aku takut akan keramaian?
Oke, baiklah! Salahkan kemampuan navigasiku yang kurang baik.
Sekarang aku berada di distrik antah berantah. Baiklah, tenang Akira! Kalau kau
tersesat, lebih baik kau mencari pos polisi terdekat, yang penting aku ingat nomor telefon rumah. Pertama-tama cari orang yang terlihat baik untuk dimintai tolong. Aku
mencari sekeliling sosok yang terlihat tidak mencurigakan, hingga pada akhirnya
aku melihat orang yang sangat kukenal.
“Kanade-jisan?” Aku merasa tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Sekarang laki-laki yang terlihat
seperti Kanade-jisan sedang bersama
seorang wanita yang terlihat sangat dewasa, entah mengapa mereka berdua
terlihat mesra. Seingatku, sebelumnya aku pernah melihat Kanade-jisan
bersama wanita yang lain, tapi yang jelas bukan wanita yang sama dengan yang satu ini.
“A...Akira-kun?” Pemuda itu berbalik,
memandang kearahku.
Tidak ada keraguan, itu
memang Kanade-jisan. “Apa yang kau lakukan disini?” Aku bertanya sebisanya.
Masih belum bisa saja
mempercayai sosok itu adalah si baka jiji. Apalagi melihat wanita yang ada di sebelahnya, wanita itu terlihat
berumur lebih tua dari Okaa-sama,
hanya saja make up yang dia gunakan
menutupi kenyataan itu.
“Nee, seharusnya itu yang aku tanyakan kepadamu. Kenapa kau ada di
sini? Kamu tidak
bersama siapapun?” Dia bertanya. Ternyata memang
dia lupa akan janjinya hari ini.
“A... aku menunggumu dari
tadi di stasiun. Kukira kau masih berada di apartemenmu dan tertidur karena
kelelahan atas apa yang kau kerjakan. Ternyata kau sudah ada di sini, bersama
dengan tante jelek ini. Okaa-sama masih 1000x
lebih cantik dari pada dia!”
“He? Kanade-kun, siapa
anak ini? Jangan bilang dia anakmu? Kurang ajar sekali mulutnya.” Ujar tante itu
sambil melihatku dengan tatapan kesal.
“ENAK SAJA! SIAPA YANG MAU
PUNYA AYAH SEPERTI DIA?! PEMUDA YANG TIDAK BISA DIANDALKAN SEPERTI
DIA! OKAA-SAMA MEMILIKI MIMPI BURUK
APA MEMILIKI ADIK YANG MENYUSAHKAN SEPERTI DIA?!!” Aku mengeluarkan semua emosiku lalu pergi meninggalkannya dengan tante itu.
Dia melupakan janji untuk
membeli kado untuk Okaa-sama hanya
demi tante itu. Entah mengapa aku sangat mengidolakan dia, itu hal yang bodoh eh?
Aku baru saja pulang dari
sekolah, setelah diantar pulang oleh supir pribadiku. Hari ini adalah hari
ulang tahun Okaa-sama. Setelah
kejadian beberapa minggu lalu, dimana aku tersesat di sebuah distrik saat akan janjian bersama baka-jiji, Otou-sama tidak membiarkan aku kemana-mana sendiri. Bahkan
melarang aku pergi bersama baka-jiji.
Pada akhirnya aku mencari kado untuk Okaa-sama
bersama beberapa orang kepercayaan ayah. Aku tahu Otou-sama sangat memperhatikanku, walau dia tidak bisa selalu ada di didekatku.
Ah! Akhirnya harinya datang,
sekarang adalah hari ulang tahun Okaa-sama.
Ngomong-ngomong, kemana Okaa-sama? Biasanya dia
menyambutku saat aku datang.
PRAAAAAAAAAAAAAAAANG
Suara itu berasal dari ruang
tengah. Aku segera berlari ke arah ruang tengah. Entah
mengapa aku mendapat firasat buruk soal ini.
“HENTIKAN! APA YANG KAU
LAKUKAN?!!” Teriakan itu berasal dari Okaa-sama.
Sekarang aku mendapati Okaa-sama yang sedang menangis dan dihadapannya sudah
terdapat Kanade-jisan yang memecahkan beberapa benda pecah belah yang ada di ruangan itu. Aku merasa tidak
bisa melangkahkan diri ke tengah mereka berdua. Aku hanya bisa mengintip dari
balik pintu yang terbuka.
“INI YANG MEMBUATMU BERUBAH
SEPERTI HAH? HARTA SEPERTI INI YANG MEMBUATMU BERUBAH? HARTA INI YANG MEMBUATMU
LEBIH MEMILIH LAKI-LAKI TUA ITU DIBANDING AKU HAH?!” Aku melihat ekspresi
menakutkan dari Kanade-jisan, entah mengapa saat itu aku tidak bisa melakukan apa-apa.
“Be... berubah apa
maksudmu?” Ibu menjawab dengan sedikit gemetar. “Aku tak pernah berubah, kau yang
berubah.”
“KAU PIKIR AKU TIDAK TAHU ALASAN MU MENIKAH DENGAN SI TUA ITU? SADARLAH FUMI, LELAKI ITU HANYA BISA
MEMBUATMU MENJAUH DARIKU!” Kanade-jisan
mendekati Okaa-sama kali ini. “Coba
kau lihat dirimu sekarang, kau sudah menyuruhku untuk menghentikan pekerjaanku heh? Kau mau mengancamku agar tidak
mendekati keluarga mu eh? Dan sekarang kau bilang kau tidak berubah?” Kali ini dia mulai
mendekatkan wajahnya kehadapan Okaa-sama.
“MENJAUH DARIKU!!” Okaa-sama mendorongnya. “A... aku
bukannya ingin kau menjauhi keluargaku! Aku hanya ingin kau menghentikan pekerjaanmu itu dan beralih ke pekerjaan yang lebih baik. Kenji-sama bisa membantu mencarikan yang lebih
baik untuk...mu...” Suara Okaa-sama mengecil saat mengatakan itu.
Entah mengapa sekarang yang
bisa aku lakukan hanya terdiam.
“Jadi kau berpikir Kenji-sama mu itu lelaki paling benar?” Kali ini Kanade-jisan sudah menghentikan bentakannya, namun nada bicaranya menjadi lebih sinis. “Baiklah, aku tak akan pernah mendekati keluargamu lagi. Nikmati saja
uang berlimpahmu itu, dan suami yang tidak mencintaimu sama sekali! Aku tidak
akan meninggalkan pekerjaanku ini!” Sepertinya dia mulai melemah.
Dia berbalik menjauhi ibuku,
berjalan menuju diriku, bukan... lebih tepatnya berjalan menuju pintu keluar.
“Tu... tunggu... Ka... Kanade...” Okaa-sama menangis sesenggukan.
Sepertinya lelaki ini tidak
mendengarnya, bahkan
tidak sadar akan keberadaanku yang dilewatinya begitu saja.
“Kuso… aku membencimu...” Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku saat dia melewatiku.
**[1 year after]**
Hari ini seperti biasa, aku dijemput oleh orang kepercayaan Otou-sama.
Orang kepercayaan disini, bukanlah supir pribadi yang Otou-sama sewa untukku, tetapi rekan kerjanya di perusahaan tempat Otou-sama bekerja. Aku heran kenapa Otou-sama masih belum mempercayakan aku pergi
sendiri keluar rumah, padahal sebentar lagi aku akan menjadi siswa SMP. Tidak mungkin aku dijemput oleh ji-san yang berbeda setiap hari kan? Bisa-bisa temanku
berpikir yang aneh aneh terhadapku.
Seperti biasa, tujuan pulang bukan rumahku, melainkan tempat Okaa-sama dirawat. Okaa-sama
sudah dirawat di rumah sakit sejak setahun yang lalu, dokter bilang Okaa-sama memang memiliki jantung yang
lemah sejak dulu. Aku tidak tahu soal penyakit Okaa-sama yang ini, sampai saat kondisi Okaa-sama benar-benar drop.
Kondisi Okaa-sama memburuk semenjak pertengkarannya dengan kuso jiji itu. Bahkan sampai sekarang kuso jiji itu belum menunjukkan batang hidungnya sama
sekali di sini.
“Terimakasih Ji-san sudah mengantarkanku kesini.” Aku
keluar dari mobil rekan ayahku saat sudah sampai di depan rumah sakit tempat Okaa-sama dirawat.
“Iya, sampaikan salamku pada
Tou-san mu ya Akira-kun, dan semoga Kaa-san mu cepat sembuh. Maaf ji-san harus segera kembali ke kantor.”
Ucapnya, lalu dia pergi meninggalkanku.
Aku melangkahkan kakiku ke
rumah sakit. Mendatangi kamar tempat Okaa-sama dirawat.
Sudah setahun ini aku menjadi pengunjung tetap rumah sakit, membuat orang-orang disini hafal akan wajahku. Tidak sedikit dari mereka yang menengurku atau memberikan
semangat padaku. Sekarang di dalam kamar Okaa-sama, aku bisa melihat Otou-sama yang tertidur di sofa sebelah tempat tidur Okaa-sama. Sepertinya
dia kelelahan lagi.
“Okaeri, Akira-kun!” Okaa-san menyambutku seperti biasa. Tak ada
yang berubah dari sambutannya ini, walau sekarang dia hanya bisa berdiam diri
di kasur rumah sakit.
“Tadaima...” Aku tersenyum ke arah Okaa-sama lalu mendekatinya.
Mengambil posisi di bangku sebelah kasurnya. “Nee, Okaa-sama, hari ini bagaimana keadaanmu?”
“Baik, seperti biasanya.” Okaa-sama tersenyum. Senyuman yang
setiap hari dia berikan kepadaku dari dulu. “Bagaimana sekolahmu?”
“Baik, tidak perlu
dikhawatirkan.” Aku balas tersenyum. “Hari ini adalah hari
pengumuman hasil tes masuk SMP, dan aku masuk ke SMP pilihan pertamaku.”
“Wah, sudah kuduga kamu memang anak yang pintar. Seperti Otou-sama
mu.” Ibu tertawa kecil. “Tak terasa kau sudah akan menjadi anak SMP Akira-kun, kapan
upacara kelulusanmu?”
“Satu bulan lagi, kelasku
berencana untuk menampilkan sesuatu pertunjukan kejutan.” Aku berbicara dengan
semangat, sungguh melihat Okaa-sama
yang sekarang, rasanya seperti tidak ada penyakit yang sedang menyerangnya. “Kuharap Okaa-sama dan Otou-sama
dapat menghadiri acaranya.”
“Baiklah, aku harap aku tidak akan mengecewakanmu.” Okaa-sama mengelus kepalaku masih sambil tersenyum dengan lembutnya. “Aku tidak mau mengecewakan orang yang aku sayangi.” Ujarnya pelan.
Hari ini adalah hari
kelulusanku, cuacanya lumayan sejuk diawal musim semi. Kelasku mengadakan
paduan suara untuk kelulusan tahun ini. Aku ditunjuk mengisi beberapa bagian
solo pada paduan suara kali ini, walau pada dasarnya aku tidak mau karena
menurutku ini merepotkan.
Sebelum pentas, aku mengecek
kearah bangku penonton, mencari sosok yang aku harapkan datang. Ah! Ada! Aku
melihat Otou-sama datang kesini,
setelah sekian lama Otou-sama tidak
pernah datang ke sekolahku. Entah mengapa hal itu membuatku senang. Walaupun Okaa-sama tidak dapat menemani, aku sudah bersyukur salah satu dari orang tuaku bisa
melihat pertunjukan pertamaku. Lagi pula aku tidak mungkin memaksakan Okaa-sama untuk melihatku kan?
Upacara kelulusan sudah
selesai, Otou-sama menghampriku untuk meberikan selamat padaku
sebelum akhirnya mengajakku pulang. Hari ini rute yang kami tempuh untuk
mengunjungi Okaa-sama berbeda, tetapi
aku kenal sekali dengan rute ini. Ya, ini adalah rute dari sekolah menuju
rumahku. Sudah setahun ini aku tak pernah melewati rute ini, entah mengapa aku
sedikit rindu akan rute ini.
Ngomong-ngomong, kenapa
tumben sekali aku dibawa langsung ke rumah? Apakah hari ini Okaa-sama sudah sembuh dan dibolehkan pulang?
Aku sampai di halaman
rumahku, mendapati banyak mobil yang terpakir di depan pintu pagar. Apa yang
mereka lakukan? Apakah sebanyak itu mobil yang mengantar ibu pulang dari rumah sakit? Mungkin yang datang itu rekan ayah yang ingin menjenguk Okaa-sama?
“Nee, Otou-sama... kenapa semua orang berkumpul di rumah kita?” Aku bertanya, sepertinya memang suasana seperti ini tidak nyaman.
“Ne, Akira... lebih baik kamu masuk saja kedalam. Okaa-sama sudah
menunggumu.” Otou-sama menjawab
dengan senyum yang
lembut.
Namun, entah mengapa senyuman Otou-sama membuat hatiku sesak… atau mungkin karena aku jarang
melihatnya tersenyum?
Aku berlari menuju pintu
masuk rumah yang terbuka lebar. Mendapati orang berkumpul dengan pakaian hitam.
Entah mengapa aku tidak suka melihat warna hitam, itu mengingatkanku pada kuso jiji yang entah menghilang kemana setelah menyakiti Okaa-sama.
“Nee, itu Akira-kun ya?
Masih muda sekali dia.”
Aku mendengar bisik-bisik
orang di sekeliling ku. Entah mengapa aku benci mendengarnya.
“Kasihan sekali, apakah Kenji-sama
sudah memberi tahu Akira-kun?”
Aku semakin merasakan
firasat buruk. Segera aku berlari ke arah ruang tengah.
Sungguh aku tidak dapat
mempercayai pemandangan di hadapanku. Pe... peti mati? Kenapa ada di ruangan
ini?
“Kasihan sekali Akira-kun, Fumi-sama meninggal terlalu cepat.”
“Akira-kun itu dekat sekali dengan Fumi-sama. Pasti mengetahui kabar ini dia akan sangat terpukul.”
Aku mendekati peti mati
tersebut. Memastikan siapa yang ada di dalamnya. Wangi dupa yang menusuk
hidungku seperti tidak mempengaruhi ku. Walaupun sudah ada foto Okaa-sama yang terpampang jelas di samping peti itu, tetap saja aku tidak percaya.
“Nee... Okaa-sama... katakan
padaku kalau ini bohong… kamu tidak mungkin pergi meninggalkanku kan?
Se... seharusnya kamu sekarang bilang ‘Okaeri Akira-kun!’ dan menghentikan lelucon ini. I...
ini sangat tidak lucu... Okaa-sama...
Okaa-sama?!!!” Aku tak bisa membendung air mataku.
“Kudengar Fumi-sama menjadi sakit-sakitan semenjak dia
bertengkar dengan adiknya.”
“Aku tidak tahu kalau Fumi-sama memiliki adik.”
“Kudengar adiknya Fumi-sama itu tampan, dan dia itu host terkenal.”
Orang-orang itu... kenapa
mereka masih sempat membicarakan aib seseorang disaat seperti ini? apakah
mereka tidak punya hati?
“Maaf nyonya, kalau sudah
selesai dengan berdoanya, bisa menunggu di ruang depan. Banyak tamu lain yang
ingin berdoa juga.”
Aku mendengar Otou-sama
‘mengusir’ beberapa tamu tidak sopan itu, kemudian dia berpaling ke arahku, dan
mendekatiku. Aku baru sadar, matanya sudah sangat merah, dan dia masih bisa
tersenyum dengan lembut ke arahku. Melihat Otou-sama
yang seperti itu, rasanya dada ini makin sesak.
“Akira-kun…” Otou-sama menepuk kepalaku lembut. “Kamu
boleh melepas perasaanmu…” Seketika itu juga, aku langsung memeluk ayahku, dan
menangis keras dipelukannya.
Ini semua gara-gara baka jiji
itu. Kalau dia tidak membuat Okaa-sama
pingsan pada hari itu, ini semua tidak akan terjadi.
Ini semua salahnya.
Tapi kenapa orang itu tidak datang? Kenapa baka jiji itu tidak datang ke pemakaman kakaknya sendiri? Kakaknya
yang dia cintai itu? Apa yang dia lakukan saat ini?
Kuso jiji.
**End of Flashback**
Malam itu akhirnya aku kesulitan untuk tidur kembali. Akibatnya, pagi
ini rasanya badanku lemas sekali.
“Semalam begadang mengerjakan tugas ya?” Otou-sama bertanya
padaku ketika aku datang ke ruang makan.
Dia sudah terlihat siap untuk berangkat kerja, sarapannya belum
disentuh. Seperti biasanya, dia menungguku datang untuk sarapan bersamaku.
“Ah, tidak…” Aku duduk di hadapan meja seberang Otou-sama. “Hanya mimpi buruk…”
Otou-sama tersenyum lembut,
sepertinya dia sudah tahu mimpi buruk apa yang kumaksud.
“Ayo kita mulai makan, sebelum dingin.” Ujarnya.
Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum, dan seperti biasanya, kami
bertukar cerita-cerita dengan santai mengenai keseharian kami masing-masing.
Kuharap Otou-sama tidak akan
meninggalkanku secepat Okaa-sama. Terkadang
aku takut dia terlalu memaksakan dirinya untuk bekerja, padahal umurnya sudah
hampir setengah abad.
Hari ini di sekolah
untungnya Matsuoka sudah mulai masuk, walaupun ketika aku melihatnya, dia malah memelototiku. Menyebalkan.
Tidak ada yang
menarik hari ini di sekolah. Rasanya sedang tidak mood untuk melakukan apapun. Ketika
rapat OSIS, dari jendela, aku dapat melihat sosok menyebalkan itu di tempat
parkir. Kuso jiji itu terlihat sedang
berjongkok disebelah motornya, dengan gagaknya yang bertengger di jok motornya.
Melihatnya saja membuat moodku
semakin buruk.
Setelah rapat
berakhir, aku langsung bergegas pulang. Ingin cepat-cepat menyelesaikan PR
Matematika dan tidur. Untung saja hari ini Hinata tidak membuntutiku, Itsuki-kaichou tadi mengatakan kalau adiknya
itu sedang tidak enak badan karena memakan yoghurt basi.
“Aouji-san!”
Tiba-tiba ada
beberapa murid perempuan yang memanggilku, tidak ada yang kukenal satupun.
“Ada apa?” Jawabku
malas.
“Apa OSIS punya ban
motor cadangan?” Tanya yang memiliki rambut panjang dan lurus.
“HAH??” Pertanyaan
macam apa itu? “Tentu saja tidak ada! Memangnya kalian pikir OSIS itu tempat
yang menyediakan segalanya?” Jawabku ketus, moodku
menjadi makin berantakan.
“Gomenne, Aouji-san… habisnya dulu kaichou
pernah memberikan aku ban sepeda cadangan saat ban sepedaku bocor… jadi kupikir
bisa minta tolong OSIS…” Jawab yang rambutnya kuncir samping.
Aku mendesah pelan.
“Memangnya kali ini ban motor kalian ada yang bocor?” Aku berusaha menjawab
sebaik yang kubisa.
“Bukan kami, tapi
ban motornya Oguro-sensei…”
Mendengar nama itu
disebut, aku semakin bĂȘte. “Minta
tolong dengan yang lain saja. Aku buru-buru.” Aku langsung meninggalkan mereka.
Aku tidak peduli
dengan keadaan kuso jiji itu. Biarkan
saja dia terkena karma.
-To be Continued-
A/N
Yosh! Berakhir juga chapter 5 nya XD
well, akhirnya kami bikin chapter bersambung juga yah *dor
untuk update selanjutnya, mungkin kami akan update tiap 2 minggu sekali orz
maaf atas ketidak nyamanannya :'3
tapi kami harap minna-sama masih tetap menantikan update dari kami yang nista ini~
yup, silahkan tinggalkan saran dan kritik minna sama di kolom komentar :"3 komentar minna sama sangat membantu kami melanjutkan project ini
arigachuuuuu~~~ ^w^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar