Jangan ragu untuk meninggalkan komentar...
Karena saran, masukan, dan berbagai celotehan kalian, sangat berarti untuk kami...

Minggu, 13 Oktober 2013

Chapter 03

**Normal P.O.V**

Pagi yang mendung, kelas 2-3 terlihat sangat sibuk saat itu. Bukan untuk menyiapkan acara festival sekolah atau acara lainnya, melainkan mereka sibuk untuk mempersiapkan ‘perbekalan’ mereka dalam menghadapi jam pelajaran pertama, Matematika. Dimana guru mereka juga merupakan wali kelas mereka, sehingga mereka tidak ingin mendapatkan omelan super panjang dan mengerikan dari wali kelas tercinta mereka itu.

Mereka sibuk menyalin pekerjaan rumah dari teman-teman mereka yang sudah mengerjakan, tidak peduli jawabannya benar atau salah, yang penting buku mereka sudah terisi dengan jawaban, sehingga aman dari glare mematikan wali kelas mereka.


AU, OC, OOC (semoga nggak terlalu)
disclaimer : SEVENTH HEAVEN adalah milik rejet
T+
 

**Mint POV**

Sebentar lagi bel masuk berbunyi, aku sudah menyiapkan semua keperluan yang harus kubawa ke kelas nanti. Semoga tidak ada yang terlambat lagi dan semua sudah mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Hn? Ah, aku melihat teman lamaku, Yuri, baru saja masuk ke ruang guru. Dia langsung berjalan ke arah mejanya yang ada disebelah mejaku.

Ohayou, Mint...” Sapanya padaku dengan senyuman khas miliknya, yang kata orang-orang ‘mengerikan’.

Ohayou” Balasku. “Apa yang membuatmu datang jam segini? Tidak seperti biasanya...”

Yuri duduk di kursinya dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah botol kecil. Dia memperlihatkannya padaku sambil tersenyum aneh.

“Semalam aku begadang membuat benda ini, kalau spekulasiku tepat... obat ini dapat membuat seseorang kehilangan pengelihatannya selama sekitar 30 menit... fufufufu...”

Aku masih saja tidak mengerti dengan sifatnya yang seperti ini, dia suka membuat ramuan yang aneh-aneh, dan jika ditanya untuk apa, dia hanya akan menjawab kalau itu hanya untuk ‘bersenang-senang’. Entah maksudnya apa.

“Lalu? Bagaimana kau akan menguji ramuan itu?”

“Fufufu... tentu saja dengan mencari volunteer dari murid di sekolah ini...”

“Yang benar saja!?” Aku berteriak tertahan, supaya tidak didengar orang lain. Aku agak kesal dengan caranya yang ini. “Sudah kubilang kau jangan menguji ramuan-ramuanmu yang berbahaya seperti itu ke murid-murid disini kan?!”

“Tenang saja... aku hanya mengujinya kepada mereka yang bersedia kok...” Yuri mulai membereskan barang-barangnya, sepertinya dia sudah bosan dengan topik pembicaraan ini.

“Tapi bagaimana kalau kali ini terjadi kesalahan yang fatal?!”

“Aku bisa mengembalikannya, setiap membuat ramuan, aku selalu mempersiapkan antidote-nya.  Lagipula, apa kau lupa kalau aku punya ramuan yang bisa menghilangkan ingatan?” Yuri mulai menatapku dengan tidak nyaman.

“Tetap saja itu-”

“Oooi... Yuri... Mint... sepertinya kalian tidak mendengar bunyi bel masuk barusan ya?”

Suara itu, Kanade, dia sudah ada di depan meja kami berdua. Aku melihat jam saku milikku, ah benar, sudah lewat sekitar 3 menit dari jam masuk.

Yuri langsung berdiri membawa tasnya dan meninggalkan kami. Sial, aku belum selesai bicara padanya. Aku segera mengambil apa yang harus kubawa ke kelas dan berjalan setengah berlari ke arah kelasku.


Aku memulai pelajaran dengan berkeliling kelas untuk mengecek pekerjaan rumah mereka. Ternyata beberapa murid belum ada yang datang, lebih parah lagi, beberapa pekerjaan rumah mereka ada yang salah dan kesalahannya sama! Apa-apaan ini! Mereka kira aku tidak bisa membedakan mana yang hasil menyalin mana yang hasil mengerjakan sendiri?!

Sepertinya aku harus menyuruh beberapa dari mereka untuk maju dan mengerjakan soal yang kuberikan. Ini untuk kebaikan mereka sendiri.

sraag

Tiba-tiba pintu terbuka dan, bagus sekali... ternyata Kihorazu Ranze, aku sangat hafal dengan kelakuannya yang selalu terlambat datang.

“MAAF TERLAMBAT, SENSEI!”

Dia menunduk dalam. Hmph, dia pikir aku akan memaafkannya dengan mudah? Anak ini kapan sih belajarnya? Tidak mengerti arti dari datang tepat waktu ya?

“Kihorazu Ranze, kau sudah mengerjakan pekerjaan rumahmu?” Kihorazu kembali berdiri tegak dan wajahnya terlihat panik. Bagus, dia pasti belum mengerjakannya.

“Sekarang, letakkan barang-barangmu di mejamu. Lalu kembali ke depan.”

“Baik sensei!”

Dia berlari ke mejanya dan meletakkan bawaannya, kemudian maju lagi. Aku menyuruhnya untuk mengerjakan soal yang baru kubuat, tentunya boleh melihat catatan, karena aku yakin dia masih tidak bisa walaupun dengan membaca catatan.

Lima menit sudah berlalu dan dia masih kesulitan. Mungkin sebaiknya aku membuat soal untuk sekalian dikerjakan satu kelas. Membiarkan murid yang lain bengong di kelas hanya karena Kihorazu bisa menyelesaikan soal itu membuang waktu sekali. Aku segera menulis 5 soal baru di papan yang tidak digunakan Kihorazu.

“Baik, untuk kalian yang sedang duduk dan menonton teman kalian didepan ini... Kerjakan soal-soal ini SENDIRI, nanti akan dikumpulkan saat jam pelajaran berakhir.”

Aku melihat wajah-wajah shock dan bete murid-murid didepanku. Aku yakin mereka tidak menduga ada kuis dadakan seperti ini. Aku melirik pada Kihorazu yang masih terlihat kebingungan. Hmph, se-melas apapun wajah yang ditunjukkan, aku tidak akan mengasihaninya.


**Normal POV**

Bel istirahat telah berbunyi sekitar 3 menit yang lalu. Mari kita lihat kembali keadaan kelas 2-3 yang baru saja ditinggalkan oleh guru paling mengerikan di Tengoku Gakuen. Wajah makhluk-makhluk di dalamnya terlihat sangat kelelahan sekaligus lega. Tak lama kemudian, kelas itu hanya menyisakan empat orang didalamnya. Mereka merapatkan meja dan kursinya, agar bisa segera melakukan ‘transaksi’ yang biasa mereka kerjakan setiap jam istirahat dimulai.

“Ah! Susah bangeeet!!” Ucap gadis berambut paling panjang. “Kalian bisa tidak ?” Tanyanya kepada teman-temannya yang lain seraya mengeluarkan kotak bento nya.

“Lumayan susah sih... tapi masih bisa lah...” Gadis yang memakai earphone di kedua telinganya menjawab sambil menyumpit sosis goreng di kotak bento nya.

Coba kalau Mint-sensei tidak mengawasi bagian belakang terus... kan aku bisa melihat ke kerjaannya Tsuracchi!” Ujar gadis yang berambut pendek.

Ketika mereka bertiga asik mengobrol, teman mereka yang baru saja terkena musibah di kelas hanya diam dan menyantap bentonya dengan pandangan kosong. Pada jam pelajaran matematika tadi, dia berada di depan papan tulis dari awal sampai akhir, dan gurunya memberikan dia pekerjaan rumah yang begitu banyak. Sepertinya saat itu dia benar-benar sudah tidak punya semangat hidup lagi.

Ketiga temannya sepertinya baru sadar bahwa mereka ‘kehilangan’ satu orang dalam percakapan mereka. Gadis yang berambut pendek mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan segera menaruh benda tersebut di dekat kotak bento gadis yang sedang down itu.

Benda itu adalah selembar foto yang berisikan seorang pria berbadan tegap dengan rambut hitamnya yang mulus. Gadis yang sedang down itu segera meraih foto tersebut, ekspresinya langsung berubah, wajahnya terlihat lebih cerah.

“Kanade...-sensei...”

Dua temannya saling tersenyum satu sama lain, dan yang satunya lagi melihatnya dengan tatapan ilfeel.

Tiba-tiba, pintu terbuka dengan kasarnya.

SRRAAAAAG BRAAAAKKKKK

“TSURARAAAA-CHAAN!!”


**Shion POV**

Dimana? Dimana??!!

Aku sudah mencari disekeliling kelas dan kantin, tapi benda kecil itu tidak kelihatan juga! Ah, sial! Kenapa sih tadi aku lupa? Sepertinya sudah aku masukin ke tas tadi malam, tidak mungkin ketinggalan dirumah juga kan? Atau... jangan-jangan... diambil oleh Tsurara-chan, ketika tadi pagi dia mengembalikan kotak bento... AH!  Benar juga! Pasti dia yang ambil! Sial!

Aku segera berlari ke arah kelas 2-3, pasti dia sedang memakan bentonya dengan damainya. Dia pasti mau menggunakan flashdisk milikku sebagai bahan ngancem lagi. Cih! Awas saja nanti!

SRRAAAAAG BRAAAAKKKKK

“TSURARAAAA-CHAAN!!”

Aku melihat empat orang gadis di pojok kelas yang terkejut atas kedatanganku, dan yang terlihat paling kaget itu Kihorazu. Aku langsung menghampiri meja mereka, atau lebih tepatnya Tsurara-chan.

“Ada apa?” Gadis yang aku pelototi dengan santainya tetap melanjutkan menyantap makanannya.

“Kamu tadi pagi mengambil flashdisk aku kan?!” Aku langsung mencecarnya dengan tuduhan yang menurutku sangat beralasan.

“Hah? Apaan? Tadi pagi aku hanya mengembalikan kotak bento kok! Lagian ngapain juga aku mengambil flashdisk kamu yang isinya HENTAI semua?!” Dia membalas.

Teman-temannya entah mengapa  terkikik kecil. Ah, sial!

“Untuk dijadikan bahan ancaman?” Tiba-tiba Kihorazu nyeletuk dengan santainya.

“Tuh! Tuh!” Aku menunjuk Kihorazu. “Bener kata Kihorazu!”

“Aku nggak sejahat itu!” Tsurara membela dirinya. “Lagian... aku datang ke rumah kamu tadi pagi untuk mengembalikan kotak bento itu, dan aku hanya mengantar sampai pintu depan, setelah itu aku langsung keluar lagi...”

Aku diam sebentar, berpikir. Iya juga ya... kenapa aku tidak kepikiran ya?

“Ketinggalan di kelas apa gitu mungkin?” Yukimura bertanya sambil menyeruput jus pisangnya.
Aku diam lagi, ah!!!  Jangan-jangan... waktu aku ngeluarin tempat pensil tadi, itu flashdisk jatuh...

“Di kelas terakhir... lab Kimia...”

Sontak aura disekitar kami menjadi tidak enak.

Sial! Kenapa flashdisk ‘itu’ harus ketinggalannya di lab kimia sih!?? Ruang seni masih mending! Hanya ada gagak! Lab kimia penghuninya kan manusia yang nggak seperti manusia!

“Selamat berjuang ya~ Shion-kun~” Tsurara-chan tersenyum mengejek ke arahku, kemudian menyeruput susu strawberry-nya.

Anak ini... aku melihat kotak bento nya, tersisa tiga buah sosis yang sepertinya dia sisihkan untuk dimakan terakhir. Heh, waktunya balas dendam... dengan sigap, aku meraup ketiga sosis itu dan memasukkannya ke mulutku.

“AAAAAAH!” teriak Tsurara-chan.

Jaa! Bwaaaka!” Aku berpamitan dengan mulut yang masih penuh dengan sosis haram(?) ini. Kemudian pergi meninggalkan kelas tersebut dengan cepat.


Aku melangkahkan kaki ku sedikit ragu ke arah lab kimia. Tinggal beberapa langkah lagi dan aku sampai ke ruang itu. Tapi entah mengapa aura menakutkan sudah terasa 50 meter sebelumnya... oh, siapa yang tidak tahu seberapa mengerikannya lab kimia disaat waktu senggang? Jangan sekali-sekali kau masuk ke dalamnya, kecuali saat jam pelajaran, dan saat jam pelajaranpun jangan pernah melakukan kecerobohan sedikitpun. Bila kau memecahkan 1 tabung reaksi, maka kau harus menggantinya 10 kali lipat. Aku belum tahu kebenarannya, tapi rumor di sekolah ini sudah menyebar ke mana-mana. Bahkan temanku yang dari sekolah lain saja sempat menanyakan kebenarannya. Ok, Shion-sama! Kau lelaki perkasa, jangan takut sama yang seperti itu!

Akhirnya sampai juga di depan pintu lab. Aku kembali meyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja. Aku melihat ke kanan dan kiriku, oke, aman. Memang apa salahnya masuk mengendap-endap ke ruang lab yang bahkan kau sudah membayar biaya oprasionalnya setiap tahun, eh? Tidak ada yang perlu di khawatirkan, ya! Kecuali...

sraaag

Aku terpaku. ‘astaga pintu ruangannya terbuka. Astaga aku belum sempat menyentuhnya sedikitpun. Astaga jangan bilang kalau yang membuka itu...’ Aku bergumam dalam hati, berusaha menampik kemungkinan terburuk.

Aah... ternyata kau yang dari tadi berdiri di depan ruanganku...” Suara itu... aku sangat kenal! Entah mengapa bulu kuduk ku berdiri seketika. “Ada perlu apa menyempatkan diri ke ruanganku?”

Ko... Konnichiwa Myou-sensei...” Aku membalas takut-takut. “Etto... sebenarnya saya ke sini ingin mengambil barang saya yang tertinggal...” Aku berucap dengan memberikan senyum 5 jari terbaikku.

Saa... bagaimana kalau kau masuk dulu Akatama? Jam istirahat seperti ini sangat menyedihkan jika harus menghabiskan waktu untuk meminum segelas teh sendiri, nee Akatama-kun?” dia memberikan lirikan yang mengerikan.

Logikanya pasti tidak ada yang mau menerima ajakan beliau, tetapi kalau aku menolak ajakannya sudah pasti hal yang lebih mengerikan akan terjadi. Lalu apa-apaan nama yang dia gunakan untuk memanggilku? Akatama? Karena rambutku merah, eh?

Aku masuk ke ruangan tersebut dengan takut-takut. Suasana di lab entah mengapa sangat berbeda dibanding saat jam pelajaran reguler biasanya. Ternyata benar saja, di dekat jendela sudah tersedia meja dan dua bangku yang berhadapan. Di mejanya sudah tersedia teh yang baru saja di seduh, asap masih menghiasi cangkir teh tersebut. Apakah sensei sudah mempersiapkan kedatanganku? Entah mengapa memikirkan itu membuatku kembali merinding.

Saa, silahkan duduk di kursi yang telah disediakan Akatama-kun...” Dia duduk lalu mengambil secangkir teh, lalu membaui aroma yang keluar dari teh tersebut. “Camomille tea memang yang terbaik untuk saat seperti ini.” Dia tersenyum lagi.

“Terimakasih sensei...” Aku langsung duduk dihadapannya. “Etto... sebenarnya saya ingin mengambil barang saya yang tertinggal saat jam pelajaran pertama...”

“Barang yang tertinggal? Barang seperti apa?” sepertinya dia mulai memberikan perhatian kepada tujuanku kemari. “Banyak barang yang tertinggal di sini, dan entah mengapa tidak ada satupun murid yang menanyakan barangnya tersebut.” Ucapnya santai.

Yah aku tahu alasan mereka, sangat tahu...

Ano... flashdisk... apakah sensei menemukan nya?” Aku memberanikan diri. Selama isinya tidak diketahui dia tidak akan curiga kan?

“Hm... flashdisk ya?” dia bangkit dari tempat duduknya lalu mengambil sebuah kardus dan membawanya ke hadapanku. “Kira-kira yang mana ya?”

Aku shock. Entah mengapa satu kardus besar itu isinya flashdisk semua. Memang sudah berapa banyak siswa yang kehilangan benda berharganya di lab ini?!!

E.. etto... yang berwarna merah...” Aku pun mendekati kardus itu dan mengubek ngubek isinya. Akhirnya menemukan flashdisk yang identik dengan punyaku. “Yang ini sensei!” Aku mengambilnya penuh kepastian.

“Kau yakin? Bukankah yang itu mirip sekali dengan yang ini?” Dia mengeluarkan satu flashdisk yang sangat identik dengan yang aku pegang. “Wah, sepertinya kita harus mengecek isinya... fufufufu...” dia tertawa.

Aku entah mengapa saat itu langsung mengeluarkan banyak keringat dingin.

Dia kembali berjalan menuju mejanya yang ada di depan kelas. Lalu kembali ke padaku dengan membawa notebook yang dia simpan di bawah lacinya. Astaga, entah mengapa feelingku sekarang sangat buruk yah. Entah aku merasa kalau semua ini sudah direncanakan oleh dia. Pokoknya selama yang dia cek flashdisk yang salah, aku aman. 

Nyawa ku dipertarukan saat ini!

“Nah... Akatama-kun… kamu mau memilih yang mana yang dicek terlebih dahulu?” Dia bertanya kepadaku, lagi-lagi dengan panggilan yang aneh. Kepalaku memang merah, tapi kenapa jadi nama panggilan begitu?

“E... aku...” ini pilihan yang sulit. Tapi tunggu, kalau yang dipegang Yuri-sensei itu kemungkinan adalah flashdisk yang baru dia temukan... berarti... “Aku pilih yang ini dicek duluan sensei...” aku menyerahkan flashdisk yang aku pegang untuk di cek terlebih dahulu.


**Normal POV**

Suasana di lab kimia itu sepi seperti biasa. Selain dikarenakan ruangan itu yang berada di paling ujung gedung pembelajaran, murid-murid juga enggan mendekati ruangan tersebut. Siapa yang tidak pernah mendengar rumor tentang sosok penjaga lab, yang siap menarik siapapun untuk masuk ke ruangan tersebut, dan entah kapan akan keluar lagi dari ruangan itu?

Selalu ada larangan mendekati ruang lab lebih dari 50 meter, terutama setelah jam pulang sekolah, lalu khusus pada hari Rabu setelah jam istirahat dan seterusnya. Ngomong-ngomong, hari ini adalah hari Rabu, mari kita semua turut berbela sungkawa kepada siapapun murid yang tidak sengaja melanggar peraturan tersebut.

Kyaaaa.... yamette!!!” Suara itu terdengar dari dalam pintu lab. Suara gadis yang terdengar ketakutan.

Onegai... iaaaaaaaa!!! Kyaaaaa... hazukashii!!” Lalu kembali terdengar teriakan lagi.

Sebenarnya apa yang terjadi di ruangan tersebut? Tak lama setelah teriakan tersebut terdengar, sesosok lelaki berjalan mendekati lab yang terkenal dengan kemisteriusannya itu. Lelaki berbadan tegap dengan bekas luka di mata kanannya itu berjalan tanpa ragu, sepertinya dia tidak takut sama sekali dengan rumor yang beredar di sekolah ini.

Ah, sepertinya tidak mungkin dia dibuat takut oleh rumor macam itu... toh yang “dirumorkan” saja terkadang takut dengan sosok ini. Yap, dia adalah Mint Brown, guru matematika yang paling ditakuti seantero sekolah. Wajahnya saat ini sudah terlihat sangat bete, seperti seorang gadis yang sedang PMS dan bersiap memarahi kekasihnya karena telah membuatnya menunggu lebih dari 1 jam di depan stasiun.

Kimocchi~~ kyaaa... aaaaaaaahh” suara itu kembali terdengar. Lalu ditambah suara yang terdengar seperti... ahh... pokoknya memalukan untuk di dengar. Sekarang makin jelas terdengar oleh sensei tampan yang sudah ada di depan pintu. Sepertinya kepalanya sadah mau mengeluarkan magma.


**Mint POV**

Salah seorang murid dari kelas 2-4 tiba-tiba mendatangiku pada saat jam istirahat tadi. Astaga, sudah kuduga jam istirahatku pada saat hari Rabu tidak akan pernah berjalan mulus. Pasti setelah keluar kelas, ada saja murid atau guru yang melaporkan kalau ada teman atau siswanya yang tidak kembali ke kelas.

Yang aku heran, kenapa mereka harus melapor kepadaku? Apa mereka pikir aku seorang detektif yang dapat melacak keberadaan murid yang menghilang? Padahal mereka tahu pasti kemana para murid itu menghilang. Yah, lab kimia! Baiklah, aku tidak akan menyalahkan mereka soal itu. Sikap Yuri belakangan ini memang sudah keterlaluan, dia selalu membawa kabur satu murid setelah pulang sekolah. Entah itu murid laki-laki atau perempuan.

Aku melangkahkan kakiku menuju ruangan yang ada di ujung gedung ini. Syukurlah setelah jam istirahat aku tidak memiliki jadwal untuk mengajar, sepertinya memang guru lain sudah menyesuaikan jadwalku dengan Yuri. Ah, aku juga tidak bisa menolaknya.

Ngomong-ngomong murid yang menghilang adalah Akamatsu Shion dari kelas 2-4, sepertinya aku sering mendengar nama itu menjadi perbincangan di sekolah. Ah! Akamatsu yang kalau tidak salah, anak yang selalu dielu-elukan malas oleh para guru, dan selalu disejajarkan dengan Kihorazu Ranze dari kelasku. Entah mengapa siswa yang seperti itu yang paling aku ingat, wajah mereka itu beda dibandingkan siswa yang lainnya. Yang satu wajahnya sangat malas, yang satunya lagi wajahnya mesum sekali.

Aku sudah mendekati ruangan tersebut, entah mengapa aku mendengar samar-samar suara teriakan wanita dari arah lab kimia. Setahuku Akamatsu itu laki-laki, kenapa bisa ada suara wanita? Aku mempercepat langkahku, dan benar saja suara itu makin terdengar jelas! Ada yang tidak beres disini!!

SRAAAAAG

Ahhhh... aaah...” Suara menjijikan itu tetap terdengar dan memang tidak ada sesosok wanita pun di lab ini.

Ah, Mint-kun Sosok yang memiliki rambut berwarna hijau itu menyambutku dengan senyuman.

“Apa yang kau lakukan Yuri?” Aku menjawab sambutannya sedingin mungkin.

“Mint-kun kenapa kau seperti itu?” Dia meletakkan tangannya di pundakku. “Seperti yang ku katakan padamu tadi pagi, aku akan melakukan percobaan terhadap ramuan baruku. Fufufufu...”

“Apa tujuanmu sebenarnya?”

Nee, kau lihat Akatama-kun disana? Dia sedang dalam keadaan tidak melihat, dan aku memutar video yang dia simpan di flashdisk nya.” Dia kembali tersenyum licik. “Dia murid yang nakal, jadi kuberikan sedikit pelajaran, sekalagus aku ingin membandingkan rate detak jantung seseorang saat mendengarkan percakapan seperti itu dengan yang menonton percakapan seperti itu. Fufufu...”

Aku melihat murid yang disebutnya Akatama-kun itu. Melihat kondisinya saat ini cukup memprihatinkan. Wajahnya kebingungan, dengan darah yang menghiasi wajahnya. Heh? Kenapa bisa ada darah disana?!!

“Jangan salahkan aku soal darah itu, dia mimisan. Kau tahu kan apa penyebabnya? Fufufufufu” Yuri menjawab pernyataan yang tersirat di otakku.

Setidaknya ini menjelaskan tidak ada penyiksaan fisik disini, tapi tetap saja...

“Yuri, lebih baik kau berikan antidote kepada dia...” Aku menjawabnya. “Apapun tujuanmu untuk mencoba penemuanmu ini salah! Kau tidak sepatutnya mencoba hal seperti itu ke muridmu!”

“Yah... aku tahu... tapi biarkan aku menyelesaikan penelitianku kali ini saja...” dia memelas kepadaku. "Lagipula dia memang patut mendapat hukuman kan?"

“Hentikan sekarang atau kau akan kehilangan pekerjaanmu!” Aku mencoba lebih tegas lagi. “Kau kira sudah berapa banyak guru atau murid yang mengeluh kepadaku tentang kelakuanmu ini? Bahkan kepala sekolahpun membincangkan masalahmu ini kepadaku!”

Maa... maa... Mint-kun... kenapa kau jadi marah?” Sepertinya wajahnya mulai memperlihatkan ketidak-nyamanan. “Setelah selesai, aku akan memberikan ramuan penghapus ingatan, jadi tenang saja...”

“Memberikan ramuan penghilang ingatan tidak menyelesaikan semua masalah! Kau tidak akan pernah bisa mengembalikan waktu yang terbuang saat kau melakukan eksperimenmu! Kau membiarkan murid itu keluar dengan wajah kebingungan dari sini, apakah itu baik hah?! Jangan sembarangan menghapus memori seseorang semaumu!”

A... ano sensei... apakah saya sudah bisa keluar dari sini? Sepertinya videonya sudah selesai...” Akamatsu menyela pembicaraan kami. Matanya entah menghadap kemana, darah dihidungnya pun masih mengalir. Sepertinya memang dia masih di bawah pengaruh ramuan Yuri.

“Cepat berikan antidote itu dan biarkan dia masuk ke dalam kelas!” Aku memarahi rekan sejak SMP-ku itu. Entah ini sudah keberapa kalinya aku melakukan hal ini. Laki-laki berkacamata itu menurutiku dan membiarkan Akamatsu keluar ruangan dengan memori yang belum di hapus. Meninggalkan kami berdua.

“Kau puas hah?” Dia melirik kehadapanku.

“Yah, selama kau tak akan mengulangi hal tersebut lagi.”

“Aku tidak bisa berjanji.” Dia tersenyum pasrah kali ini. “Maaf, tapi ini adalah hidupku. Bila aku harus kehilangan pekerjaanku hanya karena hobi ku, aku tidak peduli Mint. Aku melakukan hal tadi bukan karena ancamanmu, tapi lebih karena kau.”

“Karena aku? Kurasa kau tidak pernah mendengarkan ucapanku sekalipun.” Aku menjawabnya ketus.

“Berhenti bersikap kau yang paling benar, aku muak dengan sikapmu ini Mint.” Kali ini dia tidak menunjukan wajah santai lagi. “Kemana dirimu yang dulu Mint? Apakah kau tidak capek dengan memasang wajah tegang seperti itu setiap hari? Apakah kau tidak lelah dengan peraturan yang kau buat sendiri untuk mengikat dirimu?”

“Maaf Yuri, seperti yang kau bilang... ini hidupku. Aku belum cukup gila kehilangan pekerjaanku hanya untuk melakukan hal yang tidak berguna sama sekali.”

“Nah! Kalimat itu yang membuatku muak! Bisakah kau hentikan itu?”

“Sepertinya aku harus mengulanginya berkali-kali. Kita ini adalah guru, bukan saatnya bagi kita untuk melakukan hal yang menurut kita bisa memuaskan keinginan kita sendiri lagi. Banyak murid yang membutuhkan bimbingan kita. Berhenti bersikap kekanak-kanakan dengan percobaanmu itu, aku lelah menjadi seseorang yang selalu memperingatkanmu dan menutupi apa saja yang telah kau perbuat!”

“Aku tidak memintamu untuk itu! Aku tahu aku guru, ini cara mengajarku. Tidak ada yang salah, dan bantuanmu itu sama sekali tidak membantuku untuk membenahi cara mengajarku. Lagi pula coba kau cek lagi cara mengajarmu, apa kau sudah benar? Bahkan kelasmu saja terkenal dengan murid pemalasnya, apa yang kau ajarkan kepada gadis itu?” dia mengembalikan ucapaku. Kali ini dia membawa murid di kelasku.

“Baik, terserah padamu! Aku tidak ada waktu untuk mengurusimu!” Aku membalikan badanku, meninggalkannya. “Dan aku tidak suka dengan caramu membawa murid di kelasku.”


**Yuri POV**

Ruangan ini kembali sepi seperti baiasanya. Mint sudah meninggalkan ruangan setengah jam yang lalu. Entah mengapa aku masih saja terpaku di posisi ku sejak ditinggalkan olehnya. Apa aku sudah kelewatan tadi? Lagi pula apa-apaan wajah itu! Kenapa dia meninggalkan ruanganku dengan wajah seperti itu? Wajahnya yang menampakan kesedihan serta kemarahan sekaligus, entah sudah berapa lama aku tidak melihat Mint yang seperti itu. Yah, terakhir kali aku melihatnya adalah hari itu...  entah mengapa kalau aku mengingatnya rasanya dada ini kembali sesak.

 ~Flash back ~
[10 years ago]

Pada musim semi itu, keluargaku mendapatkan satu anggota keluarga baru. Namanya Mint Brown. Dia anak dari keluarga Inggris yang sangat mapan, dan kepala dari keluarga mapan itu adalah teman baik dari ayahku. Lalu kenapa Brown junior ini dititipkan pada keluarga kami? Alasannya absurd, dia hanya ingin hidup sederhana. Apa-apaan itu?

Mint Brown hidup bersama keluarga kami, sedangkan kedua orangtua dan beberapa saudaranya kembali ke Eropa. Meninggalkan satu anaknya ini, kenapa mereka dengan ringannya meninggalkan satu anggota keluarga mereka di keluarga kami? Aku tidak pernah mengerti jalan berpikir orang-orang kaya macam itu.

Aku lebih tua satu tahun dari Mint. Kebetulan, dengan otakku yang pintar ini, aku bisa mendapatkan SMP terbaik di kota ku. Mint juga bersekolah disitu tentunya. Dia sering datang kepadaku untuk bertanya mengenai hal yang tidak dimengertinya disekolah, dan kami juga selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Dia juga sering mengomeliku kalau aku tidak mencuci piring setelah makan, atau merapihkan tempat tidurku sebelum berangkat sekolah.

Hei! Ini hidupku! Kenapa dia berisik sekali?!

Suatu hari, sebelum liburan musim panas, aku lupa membawa pekerjaan rumahku. Itu semua gara-gara semalam Mint datang ke kamarku dan minta diajari pelajaran kimia, sepertinya aku lupa mengambil pekerjaan rumahku yang kutaruh di laci ketika dia datang. Tepat pelajaran Kimia, dan aku akan menerima hukuman, pintu terbuka dan menampakkan sosok Mint yang terengah-engah. Tanpa memedulikan pandangan disekitarnya, dia menghampiri guruku dan menyerahkan buku PR ku yang tertinggal.

Itu gila. Jarak dari rumah kami ke sekolah ini lebih dari tiga kilometer.

Aku mendatanginya saat jam istirahat.

“Kenapa kau melakukan hal itu?!” Aku langsung mencecarnya begitu saja di lorong sekolah.

“Tentu saja karena Yuri-san sudah banyak membantu diriku, karenanya saya akan membalas kebaikan kamu...” Ujar Mint sambil tersenyum dengan logat dan cara bicara khas bule yang baru belajar bahasa Jepang.

Alasan yang absurd.


Puncak dari ke-absurdan ini adalah saat aku menginjak kelas 3 SMP dan dia di kelas 2 SMP. Saat itu dia sedang memarahiku karena aku berkelahi dengan seseorang dari kelas lain. Hei! Aku memukul orang itu karena dia yang memulai duluan mencari masalah denganku! Lagipula ini kehidupanku!

“Kamu bisa tidak menggunakan kekerasan kan? Beruntung sensei hanya memberikan peringatan! Bagaimana kalau kamu di skors?! Lagipula, kekerasan bukan harus dibalas dengan kekerasan!”

Aku muak dengan omelannya yang seperti ibu-ibu itu. Aku benci tatapannya yang mengandung kemarahan, serta kesedihan sekaligus. Aku pergi meninggalkannya yang masih sibuk memarahiku.

“Yuri-san! Aku belum selesai!” Dia berteriak memanggilku dari belakang.

Aku berbalik dan balas berteriak. “Kalau kamu tidak suka dengan kelakuanku, kenapa kamu terus mengikutiku?! Jangan ikuti aku lagi kalau memang tidak suka!”

Kemudian aku melanjutkan berjalan, entah kenapa saat itu matahari terasa tertutupi sesuatu, belum sempat aku menengok, badanku sudah terlempar ke pinggir jalan. Dan terdengar suara benturan yang cukup keras, bukan berasal dariku pastinya. Saat aku melihat ke arah suara tadi, aku melihat sosok Mint yang terkapar di jalan, rambutnya yang cokelat terang itu memiliki warna baru...

Merah darah.

Tunggu dulu...

Belum sempat otakku menyusun ingatan dari beberapa detik yang lalu itu, aku melihat sebuah mobil model Ferrarri berwarna merah dengan corak api di sisinya, yang berjalan mundur, kemudian pergi dengan cepat.

Tunggu dulu...

Orang-orang mulai mengerubungi tubuh Mint, beberapa mengeluarkan handphonenya. Seorang ibu-ibu menghampiriku, menepuk bahuku, mengatakan sesuatu yang tidak masuk ke telingaku.

Tunggu dulu. Tunggu dulu. Tunggu dulu. Tunggu dulu. Tunggu dulu. Tunggu dulu! Tunggu dulu! Tunggu dulu! Tunggu dulu! Tunggu dulu! Tunggu dulu! Tunggu dulu!!!

“M...mint...”

Lama aku berusaha mencerna kejadian itu, kesadaranku kembali saat aku mendengar bunyi sirine dari sebuah mobil ambulans. Orang-orang berbaju putih mengangkat Mint ke sebuah tandu. Aku berdiri, lalu berlari, mendorong semua orang yang menghalangiku.

“MINT! MINT!”

Aku loncat masuk begitu saja ke dalam ambulans, orang-orang berbaju putih tadi berusaha mencegahku masuk. Ibu yang tadi sempat menghampiriku, datang dan berkata.

“Dia temannya! Biarkan dia ikut!”

Aku hanya menatap ibu itu yang tersenyum ke arahku, lalu kembali menatap Mint. Kepalanya penuh darah. Seorang perawat masuk dan langsung menutup pintu, kemudian segera memberikan Mint pertolongan pertama. Aku hanya bisa duduk menonton, dadaku rasanya sesak.

Ini semua salahku... kalau saja aku tidak berdebat dengannya... kalau saja aku tidak berhenti ditengah jalan untuk membentaknya...

Aku hanya dapat membenamkan wajahku pada kedua tanganku, menyesali kebodohanku.


“Mata kanannya tergores cukup parah, dari keterangan, sepertinya tergores pagar besi di pinggir jalan ya?” Dokter menoleh ke arah suster disampingnya, kemudian menatap kedua orangtuaku. “Kami akan segera melakukan operasi, kemungkinan pengelihatan pada mata kanannya dapat melihat lagi, sekitar 50%... kami tidak bisa menjamin pengelihatannya akan kembali normal... mengenai biaya...”

Dokter terus berbicara, aku sudah tidak menangkap apa-apa lagi. Aku hanya bisa melihat Mint dari balik kaca besar yang memisahkan ruang perawatan itu dengan lorong ini.


“Aku akan baik-baik saja...” Ujar Mint sambil tersenyum.

Sudah seminggu setelah kejadian itu. Hari ini, perban yang menutupi mata kanan Mint akan dibuka. Dan ketika perban itu dibuka, aku harap pengelihatannya baik-baik saja. Jika dia tidak bisa melihat, aku akan lebih mengutuk diriku sendiri.

Seorang suster membuka perbannya. Terlihat sebuah luka bekas jahitan yang melintasi matanya. Mint membuka matanya perlahan. Kemudian suster menutup mata kirinya.

“Coba melihat sekarang...” Tanya suster itu.

“Aku... bisa melihat jelas...” Ujar Mint masih dengan senyumnya yang menurutku menyakitkan. Dia menatapku, lalu tersenyum.

Aku tidak bisa berhenti melihat luka itu... luka yang akan selalu mengingatkanku pada kejadian itu... Luka itu adalah saksi bisu kebodohanku.

Kali ini... aku yang akan menolongnya.... aku yang akan melindunginya...

Kemudian aku mengeluarkan senyum terbaikku pada Mint, orang yang secara tidak sadar, telah menjadi sahabat dekatku.

 ~End of Flashback~

Apa semua yang kulakukan salah? Tujuan utamaku melakukan ini semua hanya untuk mencegah murid-murid disekolah ini memandang rendah, atau bahkan mem-bully Mint. Yah, dengan sedikit menambahkan unsur keingintahuanku dalam eksperimenku tentunya.

Teng teng teng

Tunggu dulu, pertengkaran seperti ini... bukankah pertengkaran seperti ini merupakan awal dari insiden nista itu? Apakah kalau kami bertengkar seperti ini lagi, akan ada insiden macam itu lagi?!

Aku langsung mengemas barang-barangku dan berjalan meninggalkan lab, tentunya setelah mengunci ruangan itu.


**Mint POV**

Aku memutar-mutar pulpen yang kupegang. Aku tidak bisa berkonsentrasi untuk membuat bahan ajar baru yang akan digunakan besok. Apa mungkin memang sebaiknya aku melanjutkannya di apartemen saja?

Aku melirik telefon genggamku, layar hitamnya memantulkan wajahku yang terlihat kusut... ah, bahkan aku bisa melihat bekas luka itu di mata kananku... Kalau dipikir-pikir, terakhir kali aku dan Yuri bertengkar itu sudah lama sekali. Ya, saat terakhir itu adalah dimana aku mendapatkan luka di mata kananku ini.

 ~Flashback~

Saat aku bisa melihat lagi menggunakan mata kananku, aku sangat senang. Karena dengan begitu, Yuri tidak akan merasa bersalah. Aku takut dia akan selalu menyalahkan dirinya sendiri karena insiden ini. Senyuman yang diberikannya padaku saat perbanku dibuka itu, merupakan senyuman pertamanya padaku. Ada yang aneh dari senyuman itu, dan aku tidak tahu apa-apa saat itu.

Semenjak hari itu, kami menjadi lebih akrab dari sebelumnya. Aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri, dan aku semakin tidak ingin kembali ke Eropa. Dia selalu menanyakan hariku di sekolah, dan tentu saja aku senang dengan hal ini. Aku sering bercerita padanya, mengenai teman-temanku, guruku... Terkadang aku juga menceritakan kesialanku.

Suatu hari, aku menceritakan tentang temanku yang meminjam catatanku, lalu ketika dikembalikan, catatan itu ada bekas basah oleh minuman, sehingga tulisannya tidak terbaca lagi. Keesokan harinya, pada malam hari, temanku itu datang ke rumah. Dia memberikanku sebuah buku baru lengkap dengan catatannya, dia meminta maaf telah merusak buku catatanku.

Anehnya, matanya merah, dan dia memakai perban di lengan kanannya. Saat kutanyakan apa yang terjadi dengannya, dia hanya menatapku dengan tatapan ketakutan, dan segera pamit. Ketika aku berbalik untuk menutup pintu, aku melihat Yuri yang tersenyum padaku.

“Catatanmu... sekarang sudah lengkap lagi kan?” Ujarnya.

Dari kejadian itu, dan setiap aku menceritakan kesialanku pada Yuri. Aku selalu akan mendapatkan kembali apa yang hilang dariku, dan akan selalu terhindar dari ancaman yang datang padaku. Juga semua yang terlibat, pasti selalu ketakutan melihatku.

Setelah kucoba cari tahu, salah satu dari mereka mengatakan kalau Yuri mengancam mereka untuk menjauhiku, atau mengembalikan barang milikku.

Aku ingin memarahi Yuri juga saat itu. Tapi, aku teringat akan insiden itu. Yuri... dia pasti merasa sangat bersalah karena aku terluka parah saat itu... dia juga pasti akan selalu mengingat kejadian itu saat melihat bekas lukaku.

Dia melakukan itu semua demi aku. Aku tahu itu! Tapi apa harus seperti itu caranya? Aku ingin memarahinya! Sungguh! Hentikan semua ini! Tapi... aku ingin dia tetap tersenyum seperti itu. Aku tidak ingin bertengkar seperti dulu lagi.

Aku... tidak boleh memperlihatkan kesedihanku lagi... benar, aku tidak boleh menunjukkan emosi apapun.  Aku yakin, Yuri tidak akan melukai siapapun jika aku terlihat baik-baik saja. Jika dia melakukan semua itu untukku, aku tidak akan memperlihatkan emosi apapun, supaya dia tidak melukai orang lain lagi demi aku.

 ~End of Flashback~

“nt... Mint... Mint...”

Aku terbangun dari lamunanku ketika melihat sebuah tangan terkibas-kibas didepanku.

“Ah?” Aku menengok ke sumber suara, yang ternyata adalah Kanade.

Handphone milikmu dari tadi bergetar lho...” Ujarnya sambil menunjuk handphone di tanganku.

“Ah, maaf... aku pulang duluan...”

Hai... hai... hati-hati dijalan...” Kanade melambaikan tangannya sambil tersenyum dengan cerahnya.
Aku cepat-cepat merapikan barang-barangku, setelah lari keluar ruang guru, aku langsung menjawab telfon yang kuterima. Telfon itu dari kakakku, dia menanyakan kabarku disini. Tumben sekali dia menelfon, aku ingin cepat pulang dan menyiapkan bahan ajar besok.

BRUKK

Ah, aku menabrak... murid kelasku yang sangat terkenal kemalasannya, Kihorazu Ranze, dia tersenyum dengan tampang o'on-nya sambil membawa sebuah sapu.

S...sensei...” Ujarnya sambil menunduk.

“Ah, iya iya... sampai nanti...” Aku menutup telfon dan menatap murid didepanku dengan tatapan dingin. “Apa yang kau lakukan? Bukankah bel pulang sudah berbunyi dari tadi?” Tanyaku.

Ano... saya mendapat jadwal piket...”

“Pastikan pekerjaan rumahmu dapat selesai lusa nanti. Kalau besok kau belum menyelesaikannya juga, kau harus mengikuti kelas tambahan.”

“B..baik sensei...” dia menunduk, sepertinya ketakutan.

“Segera selesaikan piketmu dan pulang, saya permisi.”

Aku pergi meninggalkannya. Paling tidak, dengan memberikannya kelas tambahan, dia tidak akan semakin buruk lagi. Ah iya, malam ini makan apa ya? Sepertinya masih ada macaroon di kulkas. Macaroon yang kemarin aku beli sepulang membeli detergen. Macaroon itu padahal kubeli untuk iseng kuberikan pada Yuri, karena itu makanan kesukaannya.

Sensei! Awas!”

Hng? Aku menoleh keatas, belum sempat melihat ada apa, badanku sudah terdorong.

BRUKKK PYASSSH  JDANGG

S...suara apa saja itu? Aku melihat ke belakang dan... melihat seseorang yang sudah basah kuyup, dan kepalanya tertutup oleh... ember!!???

G...GOMENASAI!” Murid di lantai tiga itu langsung menghilang sebelum aku sempat berkata-kata.

Orang yang sepertinya tadi mendorongku itu, melepaskan ember yang menutupi kepalanya. Ternyata itu Yuri, rambut dan pakaiannya sudah basah kuyup. Aku sedikit terkena cipratan airnya.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Yuri dengan datarnya.

Aku mengangguk. “Kenapa kau lakukan itu?”

Yuri meletakkan embernya, lalu merapihkan penampilannya. “Tentu saja untuk melindungimu, apa perlu ada alasan lain?” Dia tersenyum kecil, dan menghembuskan nafas berat. “Aku minta maaf... mungkin aku memang sedikit berlebihan akhir-akhir ini... aku terlalu depresi karena sepertinya makin sedikit murid yang mau ‘membantu’ percobaanku. Juga... maaf karena menjelekkan murid kelasmu...”

Tentu saja makin sedikit yang mau menjadi bahan percobaannya, karena sekarang peraturan dan larangan sudah disebar lebih gencar lagi. “Aku juga minta maaf. Mungkin aku yang terlalu kasar padamu, dan soal murid kelasku, aku akan segera ‘memperbaiki’ nya.”

“Myou-sensei!”

Aku dikejutkan dengan suara yang datang dari belakang Yuri, ternyata itu adalah suara dari seorang murid dari kelasku yang cukup pintar, Murasaki Tsurara.

“Silahkan pakai ini...” Dia menyerahkan sebuah handuk kecil pada Yuri, kemudian menunduk sopan. “Tadi temanku sedang membersihkan jendela saat menjatuhkan embernya, dan dia tidak berani minta maaf langsung... jadi saya yang mengantar permintaan maafnya...”

Yuri mengambil handuk yang diberikan, lalu tersenyum. “Baik, terimakasih... sampaikan padanya kalau saya sudah memaafkannya.”

Dia kembali berdiri. “Baik sensei! Ah, itu handuknya milik saya... nanti kalau akan dikembalikan, tidak dicuci juga tidak apa-apa...” Dia tersenyum dengan... aneh... atau mungkin lebih ke arah mistik. “Saya permisi dulu.”

Murasaki menunduk pada kami berdua secara bergantian, kemudian pergi meninggalkan kami. Yuri melepas kacamatanya dan mengeringkan wajah dan rambutnya dengan handuk itu.

“Hei, Yuri...”

“Ada apa Mint?” tanyanya masih sambil mengeringkan rambut panjangnya yang terlihat makin berantakan.

“Aku punya macaroon di kulkas... kau mau?”

“Eh? Benarkah?” Matanya terlihat berbinar. “Kalau begitu, aku akan sekalian menyeduhkan teh kesukaanmu... bagaimana?”

Aku mengangguk dan memberikan senyum kecil.  “Tentu saja...”

-To be Continued-





2 komentar:

  1. ekspresi saya pas baca fanfic ini : bengong - cengengesan - ngakak - melow(?)
    chapter tiganya, sukaaaaa. :D
    paling suka bagian cerita mint-yuri nya, sempet kaget pas mint ketabrak DX

    dan, ayo lanjutkan! Pengen tau nasib shion keluar dari labnya yuri sensei :D
    banyakin juga cerita shinju tsurara ranze sama niwakonya yahhh, :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih masukanya moof-san...

      kami akan semangat buat ngelanjutin cerita ini :'D
      ok, nanti porsi OC akan dibanyakin lagi ^w^

      Hapus